HIASI HIDUP DAN KEHIDUPAN KITA DENGAN AMAL ILMIAH DAN ILMU AMALIAH

Sabtu, 30 Oktober 2010

ceramah syeikh fathurrahman, Mag

Ceramah Syekh Fathurahman, MAg
Pengajian Ahad, 24 Oktober 2010

Lanjutan, bagian : 2
Selingan:
Islam itu merangkul semua kemampuan dan golongan, tidak pukul rata. Pengajian malam Ahad untuk kajian intensif Tahsinul Quran, Fiqih dan Nahwu Sharaf, sedangkan Ahad pagi untuk kajian umum untuk segala lapisan baik kaum bapak juga ibu-ibu. Maka wajarlah suasana pengajian pada malam dan hari Ahad itu berbeda. Pengajian hari Ahad diwarnai tangis dan tingkah laku anak yang tidak bisa diam.
Orang tua mesti mengajarkan anaknya menyaksikan orang beribadah. Sejak kecil dididik agar betah di masjid, jangan betah di Pe-eS (Play Station = main game) saja. Jika seorang anak sudah diperlihatkan orang-orang yang sedang mengaji, menangis di kala beristighfar, sholat, dll, maka hal itu merupakan pendidikan yang berharga bagi pembentukan jiwanya di masa yang akan datang.
Menurut Syekh Muhammad bin Ali As-Sanusi yang menukil dari ungkapan Imam Malik bin Anas, ‘Janganlah mengambil ilmu dari 4 kelompok, selain itu silahkan ambil, yaitu:
·         Dari orang bodoh (min safiihin). Apabila kita mendengarnya, janganlah kita yakini. Sebab akan menjadi racun. Bila perlu kita luruskan pandangannya itu, sebab orang yang bodoh itu tiada menyampaikan sesuatu melainkan kebodohannya. Jika kita tidak mampu maka kita sekedar menghormatinya saja. Orang bodoh mengatakan kebenaran seperti si buta menilai gajah. Gajah itu itu tipis kata si buta yang pertama, karena yang dipegang adalah ekornya. Kata si buta yang lain Gajah itu besar seperti pohon kelapa, karena yang dipegang adalah kakinya.
·         Dari orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya. Pada zaman sekarang banyak orang yang kelihatan pintar baca Al-Quran, baca do’anya juga bagus, tapi suka memperturutkan hawa nafsunya. Jiwanya penuh dengan penyakit-penyakit batiniyyah. Tidak heran, jika ada mahasiswa yang belajar ilmu umum maupun agama di perguruan tinggi, semakin banyak belajar semakin malas sholatnya. Walaupun yang mengajar adalah dosen atau kiyai yang menguasai bidang keilmuan Quran dan Hadits.  Maka karena jiwanya tidak ada yang membimbing maka hawa nafsunya yang diperturutkan. Akhirnya bukan nafsunya yang mengikuti tuntunan Quran dan Hadits, tapi Quran dan Hadits yang mesti mengikuti kemauan nafsunya. Na’udzubillaah.
·         Dari seorang kadz-dzab (pembohong), yakni orang yang banyak mengumbar kata-kata kebohongan di tengah manusia, meskipun ia banyak mengutarakan hadits Rasulullah Saw.
·         Dari seorang yang pintar (syekh), tapi tidak jelas mandatnya, alias tidak jelas silsilah keguruannya meskipun ia seorang Ulama besar yang dkenal kebajikan dan ibadahnya. Ini sebatas ilmu saja bukan untuk ditampakkan kepada orang lain sehingga menimbulkan su-uzh zhan (buruk sangka). Ulama yang tidak jelas sumber mandatnya akan menyebabkan ilmunya campur aduk, sehingga tidak jelas kebijakan Islamiyyahnya. Maka, jangan mengambil ilmu dari golongan ini. Namun demikian dalam konsep dakwah Al-Idrisiyyah kita mesti mendengar dari kalangan manapun. Bisa jadi akan menambah perbendaharaan wawasan bagi kita. Di mana pun berada, setiap murid mesti berbaur dan aktif menghadiri majelis ilmu yang ada di lingkungannya. Insya Allah, akan dibukakan Furqan (pembeda) bagi kita sehingga ditampakkan mana yang baik dan buruk, mana yag lurus dan bengok, mana yang baik dan yang lebih baik. Demikianlah kebijakan dakwah Al-Idrisiyyah ke depan, dalam rangka membangun Silaturrahim dan Ukhuwah Islamiyyah. Maka ilmu yang didapat perlu kita ambil, namun tidak menjadi dasar keilmuan berdasarkan pedoman nasehat tadi. [Perkataan Imam Malik dalam Muqaddimah Al-Muwatha’[1]]

Inti perubahan kebijakan Al-idrisiyyah dari kepemimpinan yang satu kepada kepemimpinan berikutnya adalah peningkatan. Baik ilmu maupun amaliyyah yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Untuk meyakinkan bahwa apa yang disampaikan oleh Guru merupakan petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya, maka kita perlu menengok substansi ajaran Guru-guru kita terdahulu sebagai perbandingan.
Perbandingan itu sangat penting. Allah sering mengungkapkan tamsil (perumpamaan, perbandingan), sehingga dalam kajian Ulumul Quran ada pembahasan khusus mengenai Amtsalul Quran (Tamsil-tamsil dalam Al-Quran). Maka dengan mengaji bisa mendapatkan perbandingan pengetahuan yang lebih baik.
Dalam Al-Quran disebutkan:
ذَلِكَ بِأَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا اتَّبَعُوا الْبَاطِلَ وَأَنَّ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّبَعُوا الْحَقَّ مِنْ رَبِّهِمْ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ لِلنَّاسِ أَمْثَالَهُمْ
“Yang demikian adalah karena sesungguhnya orang-orang kafir mengikuti yang bathil dan sesungguhnya orang-orang mu'min mengikuti yang haq dari Tuhan mereka. Demikianlah Allah membuat untuk manusia perbandingan-perbandingan bagi mereka.”  (Q.S. Muhammad: 3)
Dalam sabda-sabda Rasulullah juga banyak mengungkap perbandingan-perbandingan kepada banyak permasalahan, di antaranya:
“Perumpamaan orang yang berdzikir (mengingat) Tuhannya dengan orang yang tidak seperti orang yang hidup dan orang yang mati (bangkai).[2]
Orang yang berdzikir hatinya dihidupkan dan digerakkan badannya untuk aktivitas yang sesuai dengan aturan Allah. Tapi orang yang tidak berdzikir kepada Allah diibaratkan seperti bangkai, yang tidak berbau dan tidak bergerak.

Sejarah peralihan kepemimpinan umat
Supaya wawasan kita sedikit luas perlu kita perlu menengok sejarah Guru-guru kita terdahulu.
Tarekat (thariqah) Idrisiyyah adalah Thariqah pembaharuan. Awal kemunculannya tidak dinamakan sebagai Thariqah. Walaupun kita tidak menampilkan Thariqah, maka orang-orang pada umumnya mengungkapkan bahwa kita adalah orang-orang Sufi. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Direktur majalah Sabili saat bertemu dengan kita
Setelah Rasulullah Saw meninggal dunia, kepemimpinan dilanjutkan oleh para Khalifah yang diangkat berdasarkan musyawarah. Para sahabat Muhajirin dan Anshar berkumpul di Bani Tsaqafah membahas siapa penerus Beliau Saw. Meskipun jenazah Beliau kala itu belum dimakamkan. Inilah yang menjadikan alas an mengapa keluarga Rasulullah menjadi marah.
Pada saat itu pula Sayidina Umar pun belum percaya bahwa Rasulullah Saw telah wafat. Bahkan ia menghunus pedangnya dan berkata, ‘Barang siapa yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad telah mati maka akan aku penggal lehernya!’ Begitu cintanya Umar bin Khathab kepada Rasulullah  Saw, seolah-olah kekasihnya tidak boleh mati.
Begitulah saat Guru-guru Thariqah Al-Idrisiyyah ini dikabarkan telah meninggal, murid-murid banyak yang tidak percaya mendengarnya. Ada pula yang marah, seolah-olah ia tidak ingin berpisah dengan Gurunya.
Akhirnya ia dapat ditenangkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, ‘Wahai Umar, barang siapa yang beribadah kepada Muhammad ketahuilah bahwa Nabi Muhammad telah meninggal. Dan barang siapa yang beribadah kepada Allah maka sesungguhnya Allah itu Hidup dan tidak akan pernah mati’. Inilah ungkapan yang selaras dengan firman Allah: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu akan berbalik ke belakang?”(Q.S. Ali Imran:  144)
Ketika Umar Ra. salah dan dinasehati, inilah pembelajaran bagi kita. Orang yang sedang keliru dan menyimpang jangan malah dimaki-maki. Sudah salah ditambah makian, jadi bertambah salah. Ketika ada yang salah dinasehati dengan niat yang lurus dan ikhlas, semata-mata memberikan nasehat. Sebagaimana yang dilakukan Sayidina Abu Bakar ash-Shiddiq kepada Sayidina Umar ketika salah. Kesalahannya itu diakibatkan kecintaannya kepada Rasulullah Saw. Maka sadarlah ia dan surutlah emosinya, walau sumbernya berasal dari kecintaan.
Bermusyawarahnya para sahabat tiada lain untuk menentukan pengganti Rasul agar umat tidak berpecah belah sepeninggal Beliau Saw. Jadi, niat para sahabat kala itu baik karena dilandasi rasa kekhawatiran agar umat tidak berpecah belah karena pengganti Beliau Saw tidak diberitahukan  (dipublikasikan) sebelumnya.
Ada yang menyatakan bahwa pada saat kaum Muhajirin dan Anshar bermusyawarah menunjuk pengganti pemimpin umat, tidak melibatkan keluarga Rasulullah (Ahlul Bait). Di satu sisi kelompok orang yang mencintai Sayidina Ali meyakini bahwa Sayidina Ali telah diangkat oleh Rasulullah Saw secara rahasia sebagai pengganti Beliau Saw.
Ujian kepemimpinan Islam adalah luar biasa berat dibuktikan dengan sejarah. Allah akan melihat mana kelompok yang memegang teguh kebenaran dan mana yang mengedepankan ambisi pribadi atau kelompoknya. Mana yang mengedepankan Ridha Allah dan mana yang tidak.
Setelah mengajukan calon masing-masing dari golongan Muhajirin dan Anshar, maka dipihlah Syidina Abu Bakar ash-Shiddiq mennjadi pengganti (Khalifah) Rasulullah Saw. Yang tidak ikut bermusyawarah adalah Sayidina Ali dan keluarga Nabi.
Inilah sebab munculnya golongan Syi’ah dalam Islam. Menurut kaum Syi’ah seharusnya Sayidina Ali yang menjadi Khalifah yang pertama. Bahkan ada kelompok ekstrem dari syi’ah yang menyatakan bahwa kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Utsman tidak sah, ada yang menyatakan mereka akan masuk neraka karena merebut hak kepemimpinan Sayidina Ali.
Dulu saja permasalahan kepemimpinan seperti itu apalagi sekarang.
Selingan.
Saat wafatnya Mursyid Thariqah kita ada beberapa murid yang tidak lagi iman kepada penggantinya. Akhirnya sedikit demi sedikit bergeserlah ajaran yang disampaikan dan diwasiatkan oleh Guru sebelumya. Walaupun ia sudah menjadi Ulama besar, tapi dzikirnya tidak ada, libasut taqwanya tidak ada, tutup auratnya tidak ada, itulah bukti (fakta) akibat ketidakpercayaannya kepada Khalifah (pengganti peran Rasulullah Saw).
Oleh karenanya kita mesti memahami dan tahu persis sejarah, ajaran kepemimpinan saat ini dank e depan. Terbukti bagi orang-orang yang keluar dari kebijakan pengganti Mursyidnya, keimanan dan keislamannya luntur. Karena menempelnya pada saat masih ada Mursyidnya terdahulu. Bagi murid-murid Idrisiyyah yang masih mengalami kepemimpinan Mursyid terdahulu misalnya sezaman dengan Syekh Akbar Abdul Fattah mungkin menyaksikan sendiri fakta lunturnya keimanan dan keislaman murid yang dijelaskan tadi.
Dahulu ada murid yang sudah menjadi Ulama besar mengharapkan menjadi penerus Syekh Akbar Abdul Fattah dan selalu menjadi wakil Beliau di berbagai acara-acara besar, namun setelah penggantinya adalah bukan dirinya seketika keimanan dan keislamannya luntur. Ia yang sering disebut Ajengan atau Kiyai saat mewakili Syekh Akbar di berbagai acara, akhirnya menjadi orang biasa di tengah masyarkat. Sebutan kehormatan sebagai seorang pembimbing agama tidak disandangnya lagi.
Hal ini menunjukkan bahwa keimanan dan keislaman seorang murid merupakan tetesan keberkahan Gurunya dan Rasulullah Saw, karena ia menggantungkan kepercayaannya kepada Guru dan Rasul serta mengambil kebijakannya.
Akhirnya para Sahabat menyatakan bai’at kepada Sayidina Abu Bakar kecuali Sayidina Ali dan keluarga Nabi Saw. Meskipun diangkat dengan cara musyawarah, Sayidina Abu Bakar dengan kekuatan bimbingan dari Rasulullah mampu mengendalikan situasi dan kondisi umat saat itu. Orang yang murtad diperanginya. Orang-orang yang tidak membayar zakat diperangi pula. Orang yang enggan membayar zakat pada umumnya baru masuk Islam menjelang wafatnya Rasulullah Saw. Mereka masuk islam karena tunduk, bukan karena iman. Oleh karenanya dua istilah (muslim dan mukmin) itu berbeda maknanya.
Bersambung


[1] Muqaddimah Al-Muwatha’
[2] HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Musa al Asy’ari Ra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar