HIASI HIDUP DAN KEHIDUPAN KITA DENGAN AMAL ILMIAH DAN ILMU AMALIAH

Artikel Al-Idrisiyyah


MANAJEMEN EKONOMI ALA SUFI
Oleh :
Dr.Ir.H. Revino Zuarnel, SH, SE,MM
( Praktisi Bisnis & Dosen Pasca Sarjana ISTN  JAKARTA dan IBI DARMAJAYA LAMPUNG )
Penulis dapat dihubungi di : oniver10@yahoo.com

Kamus Thesaurus  mendefinisikan budaya sebagai suatu produk yang dihasilkan oleh kecederdasan atau akal dan kreatifitas  atau karya cipta manusia secara menyeluruh (Culture is the total product of human creativity and intellect). Dalam Kamus Inggris-Indonesia, Peter Salim,  istilah budaya disebutkan sebagai  suatu totalitas  sosial yang memancarkan pola perilaku, seni, keyakinan, kebiasaan dan semua yang merupakan hasil dari akal dan karyacipta manusia (the totally of socially transmitted behavior patterns, arts, beliefs, institutions, and all other products of human works and thought). Dari pengertian leksikal tersebut di atas dapat kita artikan bahwa budaya merupakan hasil produktifitas manusia dalam segala bidang yang dihasilkan melalui proses olah akal atau pikiran dan budi atau  karya cipta. Tentu saja di dalam perkembangannya budaya manusia memerlukan waktu yang tidak sebentar dan prosesnya berangsur-angsur sesuai dengan estafet kemajuan akal dan budi yang berkembang dalam diri manusia itu sendiri dari generasi ke generasi. Lee Hee Men dalam bukunya yang berjudul ‘Sejarah Peradaban Dunia’ menyebutkan tujuh ciri masyarakat berbudaya, yakni adanya kota dan pelabuhan, adanya organisasi sosial, teknologi berkembang maju, agama yang kuat di tengah masyarakat, adanya sistem pemerintahan, majunya seni sastra. Tampak di sini  bahwa salah satu dari ciri masyarakat yang berbudaya adalah  adanya pengaruh agama yang kuat yang terdapat di dalam sistem kehidupan masyarakat itu sendiri. Dan dari ketujuh hal yang disebutkan di atas dapat kita kategorikan menjadi dua bagian pokok, pertama adalah faktor Tuhan (agama)  dan kedua faktor adalah manusia di mana hal ini meliputi ke enam ciri masyarakat berbudaya lainnya yang tidak lain kesemuanya merupakan bentuk hasil dari olah pikir dan olah karyacipta manusia. 
 
Nyatalah sudah bahwa masyarakat yang berbudaya sesungguhnya adalah masyarakat yang religius di samping cerdas dan kreatif dan pastinya bukanlah masyarakat yang ateis, kurang  terdidik  dan statis (jumud). Maka dari itu,  logis kiranya untuk dapat menjadi lebih berbudaya tinggi, maka diperlukan daya dan upaya yang gigih guna meningkatkan ketiga hal pokok tersebut yakni religiusitas, intelektualitas dan kreatifitas bagi dan oleh masyarakat itu sendiri pada seluruh sendi kehidupan.  Tentu saja ketinggian masyarakat berbudaya tersebut akan dapat pula diraih oleh bangsa Indonesia karena penduduk  Indonesia jumlahnya banyak dan bertuhan. Mustahil berbudaya yang benar tanpa agama. Inilah sesungguhnya tugas mulia dari setiap putra-putri bangsa Indonesia memiliki tujuan mulia yakni menjadi religius, cerdas dan kreatif guna mencapai Indonesia yang ba’datun thaiyibatun waghufurun ghafur ma wa’dah wa rahmah dengan bahasa yang Islaminya. 

Ada paradoksi pendidikan yang terjadi pada masyarakat  Islam Indonesia pada umumnya, misalnya dalam bidang pendidikan, yakni apabila berkenaan dengan religiusitas senantiasa dihubungkan dengan pondok pesantren dan apabila ingin meraih ilmu pengetahuan non-agama maka cenderung pergi kesekolah umum yang terlihat seolah lebih dekat dan jelas guna mampu meraih kesejahteraan hidup dengan ilmu umum nantinya. Faktanya saat ini adalah setiap orang dapat belajar agama dan ilmu umum sekaligus secara mendalam pada pondok pesantren dan tidak bisa meraih ilmu agama secara mendalam bagi peserta didik yang disekolah umum. Dampak logisnya bagi bangsa Indonesia yang sangat memungkinkan adalah akan dapat terjadi ketidakseimbangan serius pada gilirannya nanti pada ketiga hal pokok yang menjadi syarat ketinggian budaya masyarakat  Indonesia yang kokoh sebagaimana telah dijelaskan di atas , sehingga budaya masyarakat Indonesia tidak mampu menghantarkan bangsa Indonesia berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa yang telah dan akan pula maju di dunia ini. 

Tersebutlah di sebuah Desa bernama Pagendingan Kecamatan Cisayong Kabupaten Tasikmalaya di Jawa Barat, sebuah Pondok Pesantren yang bernama Fadris yang merupakan singkatan dari Fathiyyah Al-Idrisiyyah .

Ponpes Fadris ini merupakan pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan Islam dan umum yang telah berdiri cukup lama yakni sejak tahun 1930 hingga kini dan bernaung di bawah Yayasan Al-Idrisiyyah. Menarik bahwa Ponpes Fadris saat ini memiliki cukup banyak kegiatan selain mengelola pendidikan , termasuk kegiatan ekonomi yang berupa mini market yang diberi nama Qini Mart. yang menjadi tempat belanja bagi pedagang pengecer kecil yang tersebar didesa-desa di sekitar pondok, Koperasi Simpan Pinjam, menjual produk Susu Segar dan Susu Asam (Yogurt) dari Sapi Perah yang dipelihara sendiri, mengelola pertanian sawah  dan palawija, memiliki tambak Udang dan Bandeng di Tuban JawaTimur dan Cipatujah Tasikmalaya, memiliki perahu motor nelayan sewaan.  Paradoksi Sufi  Al-Idrisiyyah, sementara umum mengertinya bahwa Sufi  atau Tasawuf adalah jalan menuju Tuhan yang ditempuh dengan mengabaikan kehidupan dunia (zuhud),  namun fakta di Yayasan Al-Idrisiyyah adalah bertasawuf dilaksanakan dengan mengajarkan bagaimana bisa sejahtera secara ekonomi dengan tujuan mandiri dalam bentuk menganjurkan wirausaha kepada para santri dan murid thariqahnya sebagai wujud dari konsekuensi kemandirian dan keseriusan dalam mencapai ketinggian berbudaya yang religius Islami. Ada cukup banyak murid Thariqah ini yang mapan dan sukses sebagai wirausahawan, yang dimulai dari usaha sangat kecil hingga menjadi usaha perorangan mapan mandiri dengan skala yang  cukup besar, dan menariknya fakta di sini adalah seorang Guru (Syekh) sangat telaten dalam membimbing murid yang berusaha  madiri seperti ini dan bersikap sebagai Pelatih (Coach) di mana  hal ini memang diperlukan bagi kebanyakan para wirausahawan baik pemula maupun yang telah mapan. Saya menamakan hal ini sebagai Pelatih Bisnis dari sisi Religiusitas yang berkenaan dengan kecerdasan jiwa atau spiritual (spiritual coach of business) . Bukankah Rasulullah saw adalah pelatih spiritual dari  seorang Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Konglomerat bisnis bangsa Arab di masa itu? Antara lain para murid-murid yang berhasil berwirausaha diseputaran Tasikmalaya diantaranya, sebut saja “Bakso Mas Dul”, Jolly Joy Resto dan Kelom Usaha Haji Ohim Ciawi. 

 Menjadi Kopontren berprestasi di seluruh Indonesia telah diraihnya, apresiasi penyelenggara sapi perah yang baik juga telah diperoleh dan hal ini dibuktikan dengan ditambahnya jumlah sapi sumbangan dari pemerintah kepada Ponpes dan diterimanya sapi-sapi dari ex-pengelola lain yang dianggap kurang berhasil dalam mengelola usaha peternakan sapi. 

Dalam sejarahnya, Thariqah Al-Idrisiyyah tersebut kini telah memasuki periode kepemimpinan yang keempat dan saat ini Thariqah ini dipimpin oleh Syekh Muhammad Nunang Fathurrahman,MAg. Dari peralatan bekas yang masih ada digudang, di masa kepemimpinan yang kedua pernah dilakukan usaha produksi sabun, usaha produksi bakso dan juga mie basah  serta usaha transportasi  berupa Travel Tasikmalaya - Jakarta. Selah itu di masa kepemimpinan Thariqah yang ketiga, telah pula diupayakan usaha-usaha dengan semangat kerja sama dengan pihak luar yang memiliki keterampilan khusus serta investasi yang terjangkau serta melibatkan banyak orang serta yang memungkinkan memberdayakan warga sekitar lokasi usaha. Lebih dari itu tokoh yang ketiga ini memiliki daya inspirator yang sangat baik, hal ini dibuktikan dengan upayanya membuat perahu yang dikerjakan oleh para murid dan dilakukan pula oleh beliau sendiri disela-sela kesibukannya waktunya berdakwah dan pekerjaan proyek tersebut dilaksanakannya di halaman rumah kediaman beliau ditengah-tengah pesantren, sehingga setiap santri yang lewat akan mudah melihat kegiatan beliau dan seolah mengatakan kepada setiap orang yang menyaksikannya: ‘lakukan sesuatu dan belajarlah darinya’ .  Tentu hal ini kan membuat rasa malu bagi para penempuh jalan tasawuf untuk berleha-leha dengan wirid dan zikir sementara sang Guru habis-habisan menjalankan fenomena tiga pilar peningkat budaya dengan spirit yang Islami sebagai contoh  nyata bagi santri dan para murid tarikahnya. 

Adapun sekarang Thariqah yang dinamai Al-idrisiyyah ini sedang dilanjutkan kepemimpinannya oleh Syekh yang keempat di Indonesia sejak Syekh yang pertama di Indonesia menerima estafet kepemimpinan dari gurunya yang merupakan pimpinan Thariqah Sanusiyah yang bermukim di Mekah pada saat itu ( Th. 1928). Lain masa tentu lain kebutuhannya, begitu pula hakikatnya dengan Thariqah al-Idrisiyyah, saat ini yang lebih tinggi urgensinya bagi Ponpes adalah memperbaiki mutu dan mengembangkan kelengkapan pendidikan, hingga saat ini Fadris baru melaksanakan pendidikan hingga di tingkat menengah atas dan berharap dapat segera masuk kepada jenjang pendidikan tinggi. Baru-baru ini telah pula secara  mandiri merancang pola pendidikan alternatif dan aplikatif yang setara dengan pendidikan tinggi yang mana hal tersebut tentunya seiring dengan upaya mempersiapkan mutu SDM yang terdiri dari seluruh jamaah idrissiyah khususnya serta umat Islam pada umumnya.  Terlihat di sini bahwasanya ajaran Thariqah Al-Idrisiyyah cukup sarat dengan upaya penyeimbangan hidup lahir- batin dan  dunia-akhirat yang proporsional serta sesuai dengan syariat Islam dengan menyelaraskan praktik beragama dengan kondisi zaman  di mana hidup dijalani. Hal ini yang kami pandang positif dan berbudaya serta merupakan solusi terhadap paradoksi Sufi atau Tasawuf. 

Dalam telaahan saya, tanpa banyak menyangkal akan fakta sistem manajemen ekonomi yang telah berkembang sejauh ini, Al-Idrisiyyah nampak berjalan di segala lini menembus batas lintas interdisipliner yang mapan dan terkadang menjadi penghalang bagi upaya memajuan ketinggian budaya manusia pada sektor kesejahteraan ekonomi khususnya. Kegiatan ekonomi dijalankan dengan penuh keyakinan dan seolah-olah  kesuksesan akan segera dapat dicapai didunia ini. Adapun perilaku  manajemen yang sangat kental terlihat dikalangan pelaku bisnis ekonomi di sini adalah unsur nilai-nilai keikhlasan dan ketundukan akan aturan Allah dan RasulNya dan  pula dengan perilakunya secara  ilmiah untuk mau kembali mencoba melihat dan mengkaji ulang aspek pedoman teoritis dari sumber Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad Rasulullah saw serta kebijakan pemimpinnya sebagai Al-Ulama yang diisyaratkan dalam hadits menjadi pewaris Nabi saw yang diperankan oleh tidak saja para guru Thariqah Idrisiyyah setelah masuknya ke Indonesia, tetapi juga bahkan sejak awal mula berdirinya Thariqah ini di jazirah Arab dengan nama tarikah Sanusiyyah. Menerapkan ajaran Islam dari apa saja yang sudah yang diketahui dengan segera merupakan nilai yang dianggap tinggi ketimbang mempelajari teori-teori dalam Islam secara menyeluruh, mendalam dan secara formal namun tidak dilaksanakan penerapannya  di dalam kehidupan nyata para santri dan murid. Hal tersebut tercermin dari sikap para Syekh yang sangat suka terjun langsung ke lapangan untuk memonitor sembari menyampaikan taushiyah di sana-sini sebagaimana yang diperlukan oleh para murid di dalam kegiatan dan usahanya. Begitupun dengan acap kali Pimpinan tarikah ini memintakan  tolong kepada murid yang satu yang lebih dahulu mengerti atau mengalami untuk berbagi ilmu dan pengalaman dengan murid lainnya yang dirasakan beliau akan dapat memberi manfaat guna bagi kemaslahatan perekonomian setiap jamaahnya serta dapat manjadi tauladan bagi umat Islam dalam hal keberhasilan kemandirian ekonomi.    

Itulah sekelumit nilai-nilai manajemen praktis yang berhasil guna dan terus berkembang dalam Thariqah Al-Idrisiyyah Indonesia yang dapat kita lihat serta perbandingkan dengan nilai-nilai manajemen lainnya. Lihat saja banyak budaya manajemen di dunia saat ini yang dianut oleh bangsa-bangsa yang maju secara ekonomi dan telah mencoba menawarkan konsep manajemennya yang berlandaskan nilai-nilai yang mereka terapkan dengan yakin dan terbukti cukup baik dalam memajukan sistem perekonomian mereka.  Pasti cocokkah sistem manajemen yang mereka tawarkan bagi Bangsa Indonesia saat ini?  sSebut saja semisal konsep manajemen yang banyak dikenal masyarakat kita saat ini seperti  Strategi Perang Bisnis dari Sun Zu, Mafia Manajemen, Manajemen Tao, The Live-giving sword  dari Yagyu Munenori , Manajemen Samurai dan banyak lagi konsep seperti Kaizen dan Supply Chain  Values serta yang lainnya. Saya berpendapat bahwa bangsa Indonesia memiliki potensi budaya yang tidak kalah dengan budaya-budaya lainnya di dunia, hal ini banyak berkembang saat ini sebagaimana kita lihat praktisi usaha dari suku Minangkabau, Bugis, Sunda, Jawa, Batak  serta dari lain daerah di seluruh nusantara yang keberadaanya turut diperhitungkan baik secara individu ataupun secara kelompok paling tidak. Namun dalam membangun sistem manajemen ekonomi Indonesia tersebut, hendaknya harus ada yang memformulasikan serta mewujudkannya menjadi budaya unggul  Indonesia yang serasi dengan masyarakat kita yang religius agar mudah diterapkan serta berhasil guna bagi umat manusia seluruhnya. Semoga ilmu ini selalu berkembang dan manajemen adalah alat, bukan tujuan, karena tujuan kita semua di dunia ini yang sesungguhnya adalah menjadi ‘abid atau hamba yang diakui oleh Allah sang Khaliq dan diaminkan  oleh Rasul-Nya serta menjadi bukti  dan saksi penegakan kalimah Laila ha Illallah Muhammadur Rasullullah.  Walahu a’lam bisawaab.                                      
    
.