HIASI HIDUP DAN KEHIDUPAN KITA DENGAN AMAL ILMIAH DAN ILMU AMALIAH

Minggu, 22 Mei 2011

nasihat Rasul Saw kepada puterinya

Suatu hari masuklah Rasulullah SAW menemui puterinya Fatimah az-zahra. Didapatinya sedang menggiling syair (gandum) dengan menggunakan sebuah penggilingan tangan dari batu sambil menangis.

Rasulullah SAW bertanya pada puterinya, "Apa yang menyebabkan engkau menangis wahai Fatimah? semoga Allah SWT tidak menyebabkan matamu menangis". Fatimah ra. berkata, "ayahanda, penggilingan dan urusan-urusan rumah tangga lah yang menyebabkan ananda menangis".

Lalu duduklah Rasulullah SAW di samping puterinya. Fatimah melanjutkan perkataannya, "ayahanda sudikah kiranya ayahanda meminta 'Ali (suaminya) mencarikan untuk ananda seorang jariah (pembantu wanita) untuk menolong ananda menggiling gandum dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di rumah?".

Mendengar perkataan puterinyanya ini maka bangunlah Rasulullah SAW mendekati penggilingan itu. Beliau mengambil syair (gandum) dengan tangannya yang diberkati lagi mulia dan diletakkannya di dalam penggilingan tangan itu seraya diucapkannya "Bismillaahirrahmaanirrahiim".

Penggilingan tersebut berputar dengan sendirinya dengan izin Allah SWT. Rasulullah SAW meletakkan syair (gandum) ke dalam penggilingan tangan itu untuk puterinya dengan tangannya sedangkan penggilingan itu berputar dengan sendirinya seraya bertasbih kepada Allah SWT dalam berbagai bahasa sehingga habislah butir-butir syair itu digilingnya.

Rasulullah SAW berkata kepada gilingan tersebut, "berhentilah berputar dengan izin Allah SWT", maka penggilingan itu berhenti berputar lalu penggilingan itu berkata-kata dengan izin Allah SWT yang berkuasa menjadikan segala sesuatu dapat bertutur kata. Maka katanya dalam bahasa Arab yang fasih, "ya Rasulullah SAW, demi Allah, Tuhan yang telah menjadikan engkau dengan kebenaran sebagai Nabi dan Rasul-Nya, kalaulah engkau menyuruh hamba menggiling syair dari Masyriq dan Maghrib pun niscaya hamba gilingkan semuanya. Sesungguhnya hamba telah mendengar dalam kitab Allah SWT suatu ayat yang berbunyi : (artinya)

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya para malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang dititahkan-Nya kepada mereka dan mereka mengerjakan apa yang dititahkan".

Maka hamba takut, ya Rasulullah kelak hamba menjadi batu yang masuk ke dalam neraka. Rasulullah SAW kemudian bersabda kepada batu penggilingan itu, "bergembiralah karena engkau adalah salah satu dari batu mahligai Fatimah az-zahra di dalam syurga". Maka bergembiralah penggilingan batu itu mendengar berita itu kemudian diamlah ia.
Rasulullah SAW bersabda kepada puterinya, "Jika Allah SWT menghendaki wahai Fatimah, niscaya penggilingan itu berputar dengan sendirinya untukmu. Akan tetapi Allah SWT menghendaki dituliskan-Nya untukmu beberapa kebaikan dan dihapuskan oleh Nya beberapa kesalahanmu dan diangkat-Nya untukmu beberapa derajat".

Ya Fatimah, perempuan mana yang menggiling tepung untuk suaminya dan anak-anaknya, maka Allah SWT menuliskan untuknya dari setiap biji gandum yang digilingnya suatu kebaikan dan mengangkatnya satu derajat.

Ya Fatimah, perempuan mana yang berkeringat ketika ia menggiling gandum untuk suaminya maka Allah SWT menjadikan antara dirinya dan neraka tujuh buah parit.

Ya Fatimah, yang lebih utama dari itu semua adalah keredhaan suami terhadap isterinya. Jikalau suamimu tidak redha denganmu tidaklah akan aku do'akan kamu. Tidaklah engkau ketahui wahai Fathimah bahwa ridha suami itu daripada Allah SWT dan kemarahannya itu dari kemarahan Allah SWT?.

Ya Fatimah, apabila seseorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya maka beristighfarlah para malaikat untuknya dan Allah SWT akan mencatatkan baginya tiap-tiap hari seribu kebaikan dan menghapuskan darinya seribu kejahatan. Apabila ia mulai sakit hendak melahirkan maka Allah SWT mencatatkan untuknya pahala orang-orang yang berjihad pada jalan Allah yakni berperang sabil.

Apabila ia melahirkan anak maka keluarlah ia dari dosa-dosanya seperti keadaannya pada hari ibunya melahirkannya dan apabila ia meninggal tiadalah ia meninggalkan dunia ini dalam keadaan berdosa sedikitpun, dan akan didapatinya kuburnya menjadi sebuah taman dari taman-taman syurga, dan Allah SWT akan mengkurniakannya pahala seribu haji dan seribu umrah serta beristighfarlah untuknya seribu malaikat hingga hari kiamat.

Ya Fatimah, perempuan mana yang melayani suaminya dalam sehari semalam dengan baik hati dan ikhlas serta niat yang benar maka Allah SWT akan mengampuni dosa-dosanya semua dan Allah SWT akan memakaikannya satu persalinan pakaian yang hijau dan dicatatkan untuknya dari setiap helai bulu dan rambut yang ada pada tubuhnya seribu kebaikan dan dikurniakan Allah untuknya seribu pahala haji dan umrah.

Ya Fatimah, perempuan mana yang tersenyum dihadapan suaminya maka Allah SWT akan memandangnya dengan pandangan rahmat.
Ya Fatimah, perempuan mana yang menghamparkan hamparan atau tempat untuk berbaring atau menghias rumah untuk suaminya dengan baik hati maka berserulah untuknya penyeru dari langit(malaikat), "teruskanlah 'amalmu maka Allah SWT telah mengampunimu akan sesuatu yang telah lalu dari dosamu dan sesuatu yang akan datang".

Ya Fatimah, perempuan mana yang meminyakkan rambut suaminya dan janggutnya dan memotongkan kumisnya serta kukunya maka Allah SWT akan memberinya minuman dari sungai-sungai surga dan Allah SWT akan meringankan sakratulmautnya, dan akan didapatinya kuburnya menjadi sebuah taman dari taman-taman syurga serta Allah SWT akan menyelamatkannya dari api neraka dan selamatlah ia melintas di atas titian Sirat. wallahu a'lam bi showab

perbedaan pandangan mengenai kedudukan hukum shalat sunnah ba'da 'ashar


Sholat Sunat Ba’da ‘Ashar


1.   Kesepakatan Ulama tentang 3 Waktu yang dilarang melakukan sholat

اِتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَى اَنَّ ثَلاَثَةً مِنَ الأَوْقَاتِ مَنْهِيٌّ عَنِ الصَّلاَةِ فِيْهَا وَهِيَ وَقْتُ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وَوَقْتُ غُرُوْبِهَا وَمِنْ لَدُنْ تُصَلَّى صَلاَةُ الصُّبْحِ .
Telah sepakat para Ulama bahwasanya ada 3 (tiga) waktu yang dilarang untuk mengerjakan sholat di dalamnya, yakni waktu terbit dan tenggelamnya matahari, dan setelah menunaikan sholat Shubuh. (Bidayatul Mujtahid)
2.   Perselisihan Ulama tentang Sholat ba’da ‘Ashar
Dalam kitab Bidayatul Mujtahid, kitab fiqih karangan Ibnu Rusyd, jilid I hal 73-74 disebutkan:
وَاَمَّا اِخْتَلاَفُهُمْ فِى الصَّلاَةِ بَعْدَ صَلاَةِ الْعَصْرِ فَسَبَبُهُ تَعَارُضُ الأٰثَارِ الثَّابِتَةِ فِى ذٰلِكَ . وَذٰلِكَ اَنَّ فِيْ ذٰلِكَ حَدِيْثَيْنِ مُتُعُارِضَيْنِ: اَحَدُهُمَا حَدِيْثُ اَبِيْ هُرَيْرَةَ الْمُتَّفَقُ عَلىٰ صِحَّتِهِ " اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهٰى عَنِ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتّٰى تَغْرُبَ الشَّمْسُ وَعَنِ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتّٰى تَطْلُعَ الشَّمْسُ " وَالثَّانِى حَدِيْثُ عَائِشَةَ قَالَتْ " مَا تَرَكَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَتَيْنِ فِيْ بَيْتِيْ قَطُّ سِرًّا وَلاَ عَلاَنِيَةً رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ". فَمَنْ رَجَّحَ حَدِيْثُ اَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ بِالْمَنْعِ وَمَنْ رَجَّحَ حَدِيْثَ عَائِشَةَ اَوْ رَآٰهُ نَاسِخًا لِأَنَّهُ الْعَمَلُ الَّذِىْ مَاتَ عَلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بِالْجَوَازِ .{بداية المجتهج}
Adapun perselisihan pendapat para Ulama mengenai sholat adalah masalah sholat sunat ba’da ‘Ashar, hal ini disebabkan adanya pertentangan antara 2 dasar hadits yang kuat. Di antara keduanya adalah hadits Abu Hurairah yang telah disepakati Ulama Hadits mengenai keshahihannya, bahwasanya Rasulullah SAW melarang mengerjakan shalat ba’da ‘Ashar hingga tenggelamnya matahari dan sholat sesudah shubuh hingga terbit matahari. Yang kedua, hadits dari ‘Aisyah Ra. yang menyatakan bahwasanya ‘Tidaklah Rasulullah SAW meninggalkan 2 macam sholat di dalam rumahku, baik tersembunyi (tidak terlihat) maupun terang terangan (terlihat), yaitu 2 raka’at sebelum shalat Fajar (Shubuh) dan 2 raka’at sesudah ‘Ashar. Maka para Ulama yang menyandarkan pada hadits Abu Hurairah berkata bahwa (shalat ba’da ‘ashar) itu dilarang, sedangkan yang menyandarkan pada hadits ‘Aisyah atau memandangnya sebagai nasikh (penghapus hukum hadits Abu Hurairah itu) dengan sebab (hadits ini menjelaskan) amaliyah Nabi Saw. hingga Beliau wafat, maka dia berpendapat (shalat ba’da Ashar) itu boleh (diysari’atkan).


3. Kekhawatiran Umar Ra. terhadap orang yang melakukan sholat sunnah ba’da ‘Ashar
Umar Ra. adalah sosok yang paling keras menentang orang-orang yang melaksanakan shalat sunah ba’da ‘Ashar. Namun sesungguhnya kekhawatirannya itu dikarenakan agar orang-orang tidak jatuh pada larangan Rasulullah SAW, yaitu melaksanakan shalat di saat matahari tenggelam.
Di antara sahabat yang pernah melaksanakan shalat ba’da ‘Ashar bersama Rasulullah SAW  adalah Tamim ad-Dari dan Zaid bin Khalid Ra. Riwayat shahih mengisahkan:
عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ خَرَجَ عُمَرُ عَلىَ النَّاسِ فَضَرَبَهُمْ عَلىَ السَّجْدَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتّٰى يَأْمُرَ بِتَمِيْمٍ الدَّارِى فَقَالَ لاَ اَدَعُهُمَا صَلَّيْتُهُمَا مَعَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِّنْكَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عُمَرُ اِنَّ النَّاسَ لَوْ كَانُوْا كَهَيْئَتِكَ لَمْ اُبَالِ{رواه أحمد}
Diriwayatkan dari ‘Urwah bin Zubair, dia berkata: “Umar keluar menuju orang-orang yang melakukan shalat 2 raka’at ba’da ‘Ashar lalu memukulnya, hingga ia menyuruh Tamim ad Dari’. Maka Tamim ad Dari berkata: ‘Aku tidak akan meninggalkannya (dua raka’at), karena aku telah mengerjakannya bersama orang yang lebih baik dari engkau, yakni Rasulullah SAW’. Lalu Umar berkata: ‘Jika orang-orang berpendirian sepertimu, aku tidak peduli’. (HR. Ahmad)
وَقَدْ رَوَاهُ الطَّبْرَانِى وَرِجَالُهُ رِجَالُ الصَّحِيْحِ فِى الْكَبِيْرِ وَاْلأَوْسَطِ عَنْ عُرْوَةَ قَالَ اَخْبَرَنِيْ تَمِيْمٌ الدَّارِى اَوْ اَخْبَرْتُ اَنَّ تَمِيْمًا الدَّارِى رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ نَهْيِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ عَنِ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْعَصْرِ فَأَتَاهُ عُمَرُ فَضَرَبَهُ بِالدُّرَّةِ فَأَشَارَ اِلَيْهِ تَمِيْمٌ اَنْ اِجْلِسْ وَهُوَ فِيْ صَلاَتِهِ فَجَلَسَ عُمَرُ حَتّٰى فَرَغَ تَمِيْمٌ مِنْ صَلاَتِهِ فَقَالَ لِعُمَرَ لِمَ ضَرَبْتَنِى قَالَ ِلأَنَّكَ رَكَعْتَ هَاتَيْنِ الرَّكْعَتَيْنِ وَقَدْ نَهَيْتُ عَنْهُمَا قَالَ اِنِّى قَدْ صَلَّيْتُهُمَا مَعَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عُمَرُ اِنَّهُ لَيْسَ بِيْ اَنْتُمْ اَيُّهَا الرَّهْطُ وَلٰكِنِّى اَخَافُ اَنْ يَأْتِيَ بَعْدِيْ قَوْمٌ يُصَلُّوْنَ مَا بَيْنَ الْعَصْرِ اِلَى الْمَغْرِبِ حَتّٰى يَمُرُّوْا بِالسَّاعَةِ الَّتِيْ نَهٰى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنْ يُصَلَّي فِيْهَا حَتْمًا وَصَلُّوْا مَا بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ
Diriwayatkan oleh Imam Thabrani (orang-orang yang meriwayatkannya adalah shahih) di dalam kitabnya Mu’jam al Kabir dan Mu’jam al Awsath-nya; dari ‘Urwah, ia berkata: ‘mengabarkan kepadaku Tamim ad-Dari atau aku mengabarkan bahwasanya Tamim ad-Dari ruku’ (shalat) dua raka’at sesudah adanya larangan Sayidina Umar bin Khathab mengenai shalat ba’da ‘ashar. Maka datanglah Umar memukulnya dengan pecut sambil mengisyaratkannya untuk duduk sedang ia (Tamim ad-Dari) dalam keadaan shalat. Umar duduk di dekatnya setelah Tamim menyelesaikan shalatnya. Tamim berkata: ‘mengapa engkau memukulku?’ ‘Karena engkau melakukan shalat 2 raka’at dan aku sungguh-sungguh melarangnnya!’ jawab Umar. Tamim berkata: ‘sesungguhnya aku dahulu pernah melakukannya bersama seseorang yang lebih baik darimu, yakni Rasulullah SAW. Berkata Umar: ‘Sesungguhnya bukannya aku menyalahkanmu wahai kaum, karena aku khawatir di suatu saat nanti sesudahku ada yang melakukan shalat antara ‘ashar dan maghrib hingga mereka melewati waktu yang telah dilarang oleh Rasulullah SAW untuk mengerjakannya (menjelang tenggelamnya matahari) sehingga menjadikannya sebagai perintah (kewajiban), maka lakukanlah shalat antara zhuhur dan ‘ashar!’
وَعَنْ زَيْدِبْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيْ أَنَّه رَآٰهُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَهُوَ خَلِيْفَةٌ رَكَعَ بَعْدَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ فَمَشٰى إِلَيْهِ فَضَرَبَهُ بِالدُّرَّةِ وَهُوَ يُصَلِّيَ كَمَا هُوَ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ زَيْدُ يَاأَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ فَوَاللهِ لاَ أَدْعُهُمَا أَبَدًا بَعْدَ إِذْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّيْهِمَا قَالَ فَجَلَسَ عُمَرُ إِلَيْهِ وَقَالَ يَا زَيْدُ بْنِ خَالِدٍ لَوْلاَ أَنِّيْ أَخْشى أَنْ يَّتَّخِذَهَا النَّاسُ سَلِمًا إِلىَ الصَّلاَةِ حَتىّٰ اللَّيْلِ لَمْ أَضْرِبْ فِيْهِمَا {رواه أحمدوالطبراني في الكبير وإسناده حسن}
Diriwayatkan juga dari Zaid bin Khalid al-Juhani bahwasanya ia menyaksikan Umar bin Khathab pada masa ia menjadi khalifah mellihat orang yang sedang ruku’ (shalat) sesudah shalat ‘Ashar. Maka ia menghampiri dan memukulnya dengan pelepah kurma sedang orang tersebut sedang dalam keadaan shalat. Ketika Umar selesai shalat Zaid berkata: ‘Wahai Amirul Mukminin, demi Allah aku tidak akan meninggalkan shalat ini (ba’da ‘ashar) selamanya setelah aku menyaksikan Rasulullah SAW mengerjakannya. Maka duduklah Sayidina Umar di dekatnya dan berkata: ‘Wahai Zaid bin Khalid, jika bukan karena aku takut jika hal itu menyebabkan orang-orang akan melakukan shalat (dari waktu ‘ashar) sampai malam hari (bersambung), niscaya aku tidak akan memukul orang-orang yang mengerjakan shalat ba’da ‘ashar. (HR. Ahmad, Thabrani dan sanadnya hasan)

4. Shalat ba’da ‘Ashar dilakukan di awal waktu
Salah satu syarat dilakukan shalat ba’da ‘Ashar adalah di awal waktu, di saat posisi matahari masih tinggi, jauh dari waktu maghrib.
عَنْ عَلِيِّ بْنِ اَبِى طَالِبٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ تُصَلُّوْا بَعْدَ الْعَصْرِ اِلاَّ اَنْ تُصَلُّوْا وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ. {صحيح ابن حبان ٤: ٤۱٤}
Diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib dari Nabi SAW bahwasanya beliau bersabda: ‘Janganlah kalian melakukan shalat ba’da ‘Ashar, kecuali dilakukan pada waktu matahari sedang tinggi (tidak mendekati maghrib)’. (HR. Ibnu Hibban)
Berdasarkan riwayat ini berarti Sayidina Ali Ra. juga memperkenankan shalat sunat  ba’da ‘Ashar, dan tidak diperbolehkan melakukannya di akhir waktu.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَا تَرَكَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ عِنْدِيْ قَطُّ
Sayyidah ‘Aisyah telah berkata :” Rasulullah Saw. Tidak pernah meninggalkan shalat dua raka’at setelah shalat Ashar sama sekali pada waktu bersama saya “.
وَحَدَّثَنَا أَبُوْ بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ ح  وَحَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ وَاللَّفْظُ لَهُ أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ أَخْبَرَنَا أَبُوْ إِسْحَاقَ الشَّيْبَانِيُّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الأَسْوَدِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ صَلاَتَانِ مَا تَرَكَهُمَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى بَيْتِيْ قَطُّ سِرًّا وَلاَ عَلاَنِيَةً رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعَصْرِ
Sayyidah Aisyah telah berkata: ”Dua shalat Rasulullah Saw. tak pernah meninggalkannya sama sekali pada saat di rumahku baik secara tersembunyi ataupun terang-terangan yaitu dua raka’at sebelum fajar (shalat Shubuh) dan dua raka’at setelah shalat ashar “.
وَحَدَّثَنَا أَبُوْ بَكْرِ بْنُ أَبِى شَيْبَةَ وَأَبُوْ كُرَيْبٍ جَمِيْعًا عَنْ إِبْنِ فُضَيْلٍ قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ مُخْتَارِ بْنِ فُلْفُلٍ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنِ التَّطَوُّعِ بَعْدَ الْعَصْرِ فَقَالَ كَانَ عُمَرُ يَضْرِبُ الآَيْدِي عَلَى صَلاَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ وَكُنَّا نُصَلَّى عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ غُرُوْبِ الشَّمْسِ قَبْلَ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ فَقُلْتُ لَهُ أَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَّهُمَا قَالَ كَانَ يَرَانَا نُصَلَّيْهِمَا فَلَمْ يَأْمُرْنَا وَلَمْ يَنْهَنَا
Mukhtar bin Fulful berkata: ”Saya bertanya kepada Anas bin Malik tentang shalat sunnah setelah shalat ashar, maka Anas bin Malik menjawab: Umar r.a. memukul tanganku karena telah melakukan shalat setelah shalat Ashar padahal pada zaman Nabi Muhammad Saw. Kami melakukan shalat dua raka’at setelah tenggelamnya matahari (namun) sebelum shalat Maghrib. Saya (Mukhtar bin Fulful) bertanya kepadanya (Anas r.a.): ”Apakah Rasulullah Saw. Melakukannya?“, Anas menjawab Beliau melihat kami sedang melakukannya (Dua raka’at ) namun Beliau tidak memerintahkan dan juga tidak melarangnya “. (Shahih Muslim Juz 6 Hal. 122)


dakwah al-islamiyyah


karya tulis: ust. Luqmana Amir, S.ag
ditulis ulang oleh: Asep Darmawan, S.Pd.I

Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. [An-Nahl : 125]

A.       Pengertian Dakwah
Dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah Subhaanahu wa ta'ala sesuai dengan garis aqidah, syari'at dan akhlak Islam. Kata dakwah merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da'a-yad'u yang berarti panggilan, seruan atau ajakan.
Kata dakwah sering dirangkaikan dengan kata "Ilmu" dan kata "Islam", sehingga menjadi "Ilmu dakwah" dan Ilmu Islam" atau ad-dakwah al-Islamiyah.

B.       Ilmu Dakwah
Ilmu dakwah adalah suatu ilmu yang berisi cara-cara dan tuntunan untuk menarik perhatian orang lain supaya menganut, mengikuti, menyetujui atau melaksanakan suatu ideologi, agama, pendapat atau pekerjaan tertentu. Orang yang menyampaikan dakwah disebut "Da'i" sedangkan yang menjadi obyek dakwah disebut "Mad'u". Setiap Muslim yang menjalankan fungsi dakwah Islam adalah "Da'i".

C.       Tujuan Utama Dakwah
Tujuan utama dakwah ialah mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat yang diridai oleh Allah. Nabi Muhammad SAW mencontohkan dakwah kepada umatnya dengan berbagai cara melalui lisan, tulisan dan perbuatan. Dimulai dari istrinya, keluarganya, dan teman-teman karibnya hingga raja-raja yang berkuasa pada saat itu. Di antara raja-raja yang mendapat surat atau risalah Nabi SAW adalah kaisar Heraklius dari Byzantium, Mukaukis dari Mesir, Kisra dari Persia (Iran) dan Raja Najasyi dari Habasyah (Ethiopia).

D.       Fiqhud-Dakwah
Ilmu yang memahami aspek hukum dan tatacara yang berkaitan dengan dakwah, sehingga para muballigh bukan saja paham tentang kebenaran Islam akan tetapi mereka juga didukung oleh kemampuan yang baik dalam menyampaikan Risalah al Islamiyah.

E.        Metode Dakwah
Metode artinya: Cara yang teratur dan sistematis untuk pelaksanaan sesuatu; cara kerja . Metode juga berarti: Prosedur atau cara memahami sesuatu melalui langkah yang sistematis. Sedangkan dakwah adalah: Sebagaimana yang kami sebutkan di atas, yaitu menyampaikan ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alahi wa Sallam.

Metode dakwah berarti : Suatu cara atau teknik menyampaikan ayat-ayat Allah dan Sunnah dengan sistematis sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Dakwah di zaman yang serba modern dan canggih ini diperlukan metode yang canggih dan modern pula. Sebab jika tidak adanya keseimbangan antara metode dakwah dan kondisi zaman, maka materi dakwah yang disampaikan tidak sampai pada sasaran. Sekarang ini kita hidup di era yang disebut dengan era persaingan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Semua aspek kehidupan di jalankan oleh mesin-mesin robot yang serba modern. Umat ghairul Islam dalam menyampaikan dakwahnya di daerah transmigrasi sudah menggunakan pesawat terbang, sementara itu para da’i kita dalam menyampaikan dakwahnya di daerah tranmigrasi masih menggunakan transportasi yang terbatas bahkan sampai harus berjalan kaki yang membuat waktu tersita begitu banyak.

F.        Macam-Macam Dakwah

  1. Dakwah Fardiah
Dakwah Fardiah merupakan metode dakwah yang dilakukan seseorang kepada orang lain (satu orang) atau kepada beberapa orang dalam jumlah yang kecil dan terbatas. Biasanya dakwah fardiah terjadi tanpa persiapan yang matang dan tersusun secara tertib. Termasuk kategori dakwah seperti ini adalah menasihati teman sekerja, teguran, anjuran memberi contoh. Termasuk dalam hal ini pada saat mengunjungi orang sakit, pada waktu ada acara tahniah (ucapan selamat), dan pada waktu upacara kelahiran (tasmiyah).

  1. Dakwah Ammah
Dakwah Ammah merupakan jenis dakwah yang dilakukan oleh seseorang dengan media lisan yang ditujukan kepada orang banyak dengan maksud menanamkan pengaruh kepada mereka. Media yang dipakai biasanya berbentuk khotbah (pidato).
Dakwah Ammah ini kalau ditinjau dari segi subyeknya, ada yang dilakukan oleh perorangan dan ada yang dilakukan oleh organisasi tertentu yang berkecimpung dalam soal-doal dakwah.

  1. Dakwah bil-Lisan
Dakwah jenis ini adalah penyampaian informasi atau pesan dakwah melalui lisan (ceramah atau komunikasi langsung antara subyek dan obyek dakwah). dakwah jenis ini akan menjadi efektif bila: disampaikan berkaitan dengan hari ibadah seperti khutbah Jumat atau khutbah hari Raya, kajian yang disampaikan menyangkut ibadah praktis, konteks sajian terprogram, disampaikan dengan metode dialog dengan hadirin.

  1. Dakwah bil-Haal
Dakwah bil al-Hal adalah dakwah yang mengedepankan perbuatan nyata. Hal ini dimaksudkan agar si penerima dakwah (al-Mad'ulah) mengikuti jejak dan hal ikhwal si Da'i (juru dakwah). Dakwah jenis ini mempunyai pengaruh yang besar pada diri penerima dakwah.
Pada saat pertama kali Rasulullah Saw tiba di kota Madinah, beliau mencontohkan Dakwah bil-Haal ini dengan mendirikan Masjid Quba, dan mempersatukan kaum Anshor dan kaum Muhajirin dalam ikatan ukhuwah Islamiyah.

  1. Dakwah bit-Tadwin
Memasuki zaman global seperti saat sekarang ini, pola dakwah bit at-Tadwin (dakwah melalui tulisan) baik dengan menerbitkan kitab-kitab, buku, majalah, internet, koran, dan tulisan-tulisan yang mengandung pesan dakwah sangat penting dan efektif.
Keuntungan lain dari dakwah model ini tidak menjadi musnah meskipun sang dai, atau penulisnya sudah wafat. Menyangkut dakwah bit-Tadwim ini Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya tinta para ulama adalah lebih baik dari darahnya para syuhada".

  1. Dakwah bil Hikmah
Dakwah bil Hikmah yakni menyampaikan dakwah dengan cara yang arif bijaksana, yaitu melakukan pendekatan sedemikian rupa sehingga pihak obyek dakwah mampu melaksanakan dakwah atas kemauannya sendiri, tidak merasa ada paksaan, tekanan maupun konflik. Dengan kata lain dakwah bi al-hikmah merupakan suatu metode pendekatan komunikasi dakwah yang dilakukan atas dasar persuasif.
Dalam kitab al-Hikmah fi al dakwah Ilallah ta'ala oleh Said bin Ali bin wahif al-Qathani diuraikan lebih jelas tentang pengertian al-Hikmah, antara lain:
Menurut bahasa:
  • adil, ilmu, sabar, kenabian, Al-Qur'an dan Injil
  • memperbaiki (membuat manjadi lebih baik atau pas) dan terhindar dari kerusakan
  • ungkapan untuk mengetahui sesuatu yang utama dengan ilmu yang utama
  • obyek kebenaran(al-haq) yang didapat melalui ilmu dan akal
  • pengetahuan atau ma'rifat.
Menurut istilah Syar'i:
  • valid dalam perkataan dan perbuatan, mengetahui yang benar dan mengamalkannya, wara' dalam Dinullah, meletakkan sesuatu pada tempatnya dan menjawab dengan tegas dan tepat.

G.       Karakter dan Mental da’i
Seorang da’i  harus berkarakter akhlaqul karimah hal tersersebut dicontohkan oleh nabi dan para sahabat. Tanpa akhlak yang mulia seorang da’i tidak akan mendapatkan pertolongan Allah karena bagi para da’i khususnya dan kaum muslimin pada umumnya sangant memerlukan pertolongan Allah (QS. 2:214) mari kita lihat bagaimana perjuangan Nabi dan para sahabat nya sehingga satu saat seolah-olah stok kesabaran nabi dan para sahabat habis maka berkata nabi dan para sahabat mengatakan, “bilakah tibanya pertolongan Allah”, ini bisa dikatakan semacam curhat antara hamba-hambanya yang sholeh dengan Allah Swt.melihat peristiwa sejarah di atas membuktikan bahwa beliau dan para sahabat adalah pendekar-pendekar dakwah dengan karakter akhlaqul karimah dan bermental baja maka selayaknya mereka mendapat pertolongan Allah.

H.       Hambatan dan tantangan
Dalam berdakwah kita akan menjadapt ujian-ujian dari Allah. Tentunya ujian-ujian tersebut tidak ringan. Sebab profesi dakwah (kalau boleh dikatakan profesi) adalah profesi yang mulia di jalan Allah. Dengan demikian siapkan diri anda untuk menjadi jundullah di muka bumi yang bonusnya dari Allah, yaitu Allah Swt akan menyemai nilai-nilai iman, islam dan akhlak mulia bagi para da’i berkarakter. Nilai-nilai yang diberikan Allah kepada kita ini nilai yang sangat mahal sebab ini merupakan indikasi Allah akan memberikan ampunan kasih sayang dan ridhonya. Sebagai da’i kita akan mengahdapi tantangan dan hambatan baik secara internal maupun eksternal. Hambatan internal antara lain:
1.         Menghadapi kemalasan dan kelemahan diri.
2.         Mengadapi pilihan honorarium.
3.         Merasa cukup dengan keilmuan yang ada.
Diantara hambatan eksternal adalah:
  1. Menghadapi kaum musrikun, fasiqun dan munafiqun (QS. 6:123).
  2. Menghadapi rintangan alam (seperti di Papua, Kalimantan).
  3. Menghadapi daerah bencana.
  4. Menghadapi Du’at ilan Naar (penyeru ke neraka jahannam).

Kiat sukses Dakwah
  1. Niat yang ikhlas, “Lillah, Fillah, ‘Alallah, Ilallah”.
  2. Memahami medan dakwah. (misalnya; perbedaan kultur, kelompok).
  3. Membekali dengan keilmuan dan meningkatkan kemampuan ruh (spiritual).
  4. Menguasai teknologi penunjang.