HIASI HIDUP DAN KEHIDUPAN KITA DENGAN AMAL ILMIAH DAN ILMU AMALIAH

Selasa, 19 Oktober 2010

mengapa berdiri ketika berzikir..?


Dalam selingan ceramah Syekh al-Akbar ketika membahas masalah kaifiyat (tata cara) berdzikir kepada Allah pernah diungkapkan bahwa ada orang yang memfitnah jama'ah Al-Idrisiyyah berdzikir 'berdiri'! Padahal ungkapan itu tidak berbukti sama sekali. Karena jama'ah Al-Idrisiyyah berdzikir 'Allah! Allah! Allah!........' Bukan 'Berdiri! Berdiri! Berdiri!............' Sebab arti dzikir adalah menyebut. Jika dikatakan berdzikir berdiri berarti menyebut 'berdiri!' Mendengar hal ini jama'ah tersenyum mendengarnya.
Yang dimaksud adalah jama'ah Al-Idrisiyyah berdzikir 'Allah! Allah! Allah!' sambil berdiri! Itulah ungkapan yang tepat. Berdzikir demikian didasari Firman Allah: Alladziina yadzkuruunallaaha qiyaamaw waqu'uudaw wa'alaa junuubihim...... 'Mereka yang berdzikir kepada Allah sambil berdiri atau duduk atau berbaring atas lambungnya...'
Yang tidak disadari banyak orang adalah ketika seseorang atau sekelompok orang berdzikir, saat itu mereka sedang menyebut-nyebut-Nya. Saat mereka menyebut-nyebut-Nya, maka saat itu pula ada respon yang sangat cepat dari Allah SWT. Firman Allah 'Fadzkuruunii adzkurkum (Maka sebutlah Aku niscaya Aku akan menyebut kalian)'. Maka hadirlah Allah 'Azza wa Jalla ketika seorang hamba memanggil-Nya. Allah tidak buta atau tuli, tetapi kita buta dan tuli dengan Kehadiran-Nya.
Secara fitrah kita akan menghormati seorang pembesar ketika datang kepada kita. Kita berdiri menghormati kehadirannya. Begitulah yang kita saksikan selama ini. Kemunculan Presiden, Bos, majikan di hadapan kita memancing reaksi normal bawahannya untuk berdiri menghormati kehadirannya.
Kebiasaan pada Mahallul Qiyam (berdiri) saat akhir pembacaan Maulid adalah kesadaran eksistensi yang diajarkan oleh Ulama Muhaqqiqin agar menghormati kehadiran Rasulullah Saw ketika namanya disebut-sebut, dan shalawat dilantunkan terus menerus kepadanya. Pemahaman ini diterima banyak orang, hal ini dibuktikan dengan masih banyak orang melakukannya saat bulan-bulan Maulid atau acara-acara tertentu.
Sekarang, bisakah kita menerima pemahaman bahwa Allah SWT lebih layak untuk dihormati dan diagungkan kehadiran-Nya oleh kita sebagai makhluk-Nya? Tentu saja. Karena berdiri menyambut kehadiran-Nya ketika menyebut atau memanggil nama-Nya adalah suatu yang fitrah dan suatu hal yang patut.
Ada sebuah kisah klasik yang patut menjadi renungan kita bersama,
Suatu saat Jibril As pemimpin seluruh bangsa malaikat datang kepada Nabi Saw dan berkata, 'Ya Rasulullah, aku lihat peristiwa yang menakjubkan. 'Apakah itu wahai Jibril?' sabda Nabi Saw. Jawab Jibril As, 'Tatkala aku sampai di Jabal Qaf aku mendengar sebuah suara rintihan dan tangisan. Maka aku pergi mencarinya. Dan aku melihat satu malaikat yang pernah aku lihat dahulu berdiam di atas Kursy. Di sekitarnya terdapat 70 ribu berbaris malaikat berkhidmah kepadanya. Setiap malaikat ini bernafas, maka hembusan nafasnya dijadikan Allah malaikat lagi. Sekarang aku lihat malaikat itu menangis dan menderita di Jabal Qaf karena patah sayapnya. Ketika ia melihatku ia bermohon, 'Syafa'atilah (tolonglah) aku ini!' Kata Jibril, 'Apa dosa engkau (sehingga menjadi seperti ini)?' Maka jawabnya, 'Adalah aku berada di atas Sarir pada malam Mi'raj (27 Rajab). Kemudian lewatlah di hadapanku Nabi Muhammad Saw. Tapi aku tidak berdiri (menghormati) baginya. Maka Allah menyiksa ku dengan siksa seperti ini dan ditempatkan di tempat yang engkau saksikan ini. Berkata Jibril, 'Aku pun bertadharru' (merendahkan diri) untuk memohonkan ampun untuknya kepada Allah Ta'ala'. Firman Allah Ta'ala, 'Sampaikan padanya agar bershalawat atas kekasih-Ku Muhammad Saw!' Maka bershalawatlah ia atas engkau (Muhammad). Dan Allah Ta'ala mengampuninya, disembuhkan bahkan ditambahkan sayapnya'. [Jam'ul Jawami', Sy Daud bin Abdullah al-Fathani].
Begitu selesai membaca ini, saya pun merenung. Bagaimana sosok malaikat yang bersifat ruhaniyyah dan telah diberikan kedudukan yang demikian tinggi bisa merasakan penderitaan fisik akibat satu kesalahan saja. Saya mengira, sosok malaikat itu sudah dekat, dijamin masuk syurga dan tak ada lagi siksa. Tapi hukuman akibat kesalahan adab tetap berlaku secara fisik.
Kesalahan fatal manusia di muka bumi banyak diceritakan karena masalah kekeliruan adab kepada Utusan-Nya, bukan karena kurang atau tidak imannya kepada Allah. Bisa kita buka cerita bagaimana Iblis enggan sujud kepada Adam As. Perintah Allah SWT kepada Iblis untuk sujud sebenarnya mengajarkannya sebuah adab, tapi ia memilih tidak mau beradab. Umat Yahudi dan Nasrani dilaknat Allah karena ketidaksukaannya kepada Nabi Muhammad, tapi bukan karena kurang imannya kepada Allah. Inilah masalah Adab.
Ilmu tentang Adab (etika) setiap orang tidaklah sama. Nabi Saw diberikan pengetahuan Adab yang begitu tinggi, karena Allah sendiri yang mengajarkan Beliau bagaimana caranya beradab [Addabanii Robbii fa Ahsana Ta'diibii]. Demikian pula para Masyayikh pewaris dan Khalifah Rasulullah Saw. Mereka diajarkan adab yang demikian tinggi.
Syekh al-Akbar mengajarkan murid-muridnya dan umat ini untuk berdiri ketika berdzikir, adalah sebab pengajaran adab (tata krama) berdzikir yang Allah curahkan kepada jiwa Beliau. Pengajaran tentang ini adalah limpahan karunia yang luar biasa tentang perihal adab manusia dalam berinteraksi kepada Khaliq-Nya. Dan 'Tidak ada agama bagi orang yang tidak memiliki adab!' demikian hadits menyebutkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar