HIASI HIDUP DAN KEHIDUPAN KITA DENGAN AMAL ILMIAH DAN ILMU AMALIAH

Jumat, 24 September 2010

libasuttaqwa bukan sekedar ghamis dan cadar

Mereka katakan, 'Busana Muslim adalah kulit saja'
Tidak salah orang yang menyatakan ungkapan di atas, jika penempatan permasalahan pada perkara lahir saja. Memang, Gamis, janggut dan surban atau Cadar adalah perkara lahiriyyah. Libasut taqwa bukan merupakan perkara batin, tetapi ia adalah perkara syari'at (lahir). Dan orang yang menjalankan syari'at secara lahir akan menunjukkan sikapnya secara batin. Artinya orang yang berbusana taqwa yang didasari keimanan dan keikhlasan telah menunjukkan ketaatannya kepada perintah Allah dan Rasul-Nya dalam berbusana.
Sunnatullah, segala sesuatu di dunia ini mempunyai kulit dan isi. Kita tidak mau memakan makanan seperti durian tanpa kulit. Tidak ada yang mau membeli pisang tanpa kulit. Kalaupun mau perlu dikemas dengan bungkus (kulit) yang lain. Tidak bernilai isi tanpa kulit, dan tidak bermakna kulit tanpa isi. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Begitulah sikap seseorang terhadap agama ini, tidak bermakna Iman tanpa Islam serta Ihsan. Semua aspek itu diperlukan.
Mereka yang tidak suka diperdengarkan perintah libasut taqwa ini juga mengatakan 'ajaran Islam bukan masalah Busana saja!' Ajaran-ajaran Islam bersifat integratif, tidak ada salah satu ajarannya berdiri sendiri. Ajaran libasut taqwa mempunyai kaitan dengan ibadah lainnya, apabila diuraikan menjadi pembahasan yang sangat panjang. Jika kita mengelak dari isi perintah Al-Quran, berarti ia mengelak atau tidak mengakui seluruh ayat Al-Quran. Mengapa demikian? Karena satu ayat Al-Quran dengan ayat lainnya memiliki keterkaitan dan kesatuan sistem, dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Ini adalah bagian dari aqidah/keimanan dalam Islam.
Jika seseorang tidak suka terhadap salah satu ajaran Islam, ia akan berselisih dengan ajaran Islam lainnya. Jika ia merasa tidak suka ketika dinasehati tentang shalat, ia pun akan mengungkapkan nada yang sama, 'Ah, ajaran Islam kan bukan shalat saja!' Hal lainnya akan ia katakan dengan ungkapan serupa.
Mereka yang memang sudah tidak suka dengan apa yang dicontohkan Nabi Saw, akan mudah menyatakan 'Kesalehan itu bukan diukur lewat Pakaian'. Pernyataan tersebut menunjukkan rasa tidak suka terhadap orang yang berbusana Muslim/ah. Hal itu juga akan senada dengan 'Kesalehan itu bukan diukur lewat Shalat!' 'Kesalehan itu bukan diukur lewat Dzikir!' 'Kesalehan itu bukan diukur lewat Zakat!' Dan seterusnya. Berarti ia tidak suka kepada orang yang melakukan shalat, zakat, dan orang-orang yang berdzikir. Mengapa mesti keluar pernyataan seperti ini Saudaraku? Tiada lain karena tidak lurus hatinya, dan tidak berpihak kepada Uswah (teladan) Nabi Saw.
Orang yang sudah alergi dengan penampilan busana Taqwa ini akan berkata lebih jauh lagi, bahwa 'keislaman seseorang bukan diukur lewat pakaiannya. Islam tak berurusan dengan pakaian, Islam tak berurusan dengan jenggot, dengan sorban, cadar dan dengan aksesori-aksesori kesalihan yang dimaksudkan agar para pemakainya dihormati atau disegani'.
Kalau Islam tidak mengatur masalah pakaian, tentu pakaian ihram dalam ibadah haji boleh menggunakan sembarang pakaian. Dan hingga saat ini belum atau tidak ada yang berihram menggunakan baju batik atau jas!?
Kalau kita bebas dalam menentukan cara berpakaian dalam Islam di manapun dan kapanpun, mengapa saat orang meninggal harus dibungkus dengan kain berwarna putih, bukan selainnya? Bukankah perintah mengemas mayat dengan kain putih dan bertatabusana dalam Islam itu didasari oleh sumber yang sama, yakni sabda Nabi Saw?
Pada kenyataannya kebanyakan muballigh atau da'i Islam selalu menggunakan asesoris ketika mereka berkhutbah atau menghadiri acara resmi. Di antaranya adalah mengenakan kopiah hitam, berjas, dan terkadang selendang (yang mereka anggap sebagai surban) menggelantung di bahunya.
Seorang muslim liberal pun ketika ia berkhutbah biasanya mengenakan kopiah hitam. Entah, alasannya mengapa mereka perlu mengenakan kopiah. Padahal asesoris bagi mereka tidaklah penting. Tapi mengapa mereka kenakan juga.
Kalau kita hendak menolak adanya asesoris penampilan dalam diri kita, tentunya mesti konsekuen dalam mewujudkannya. Tidak hanya janggut, tapi juga kumis harus kita cukur habis agar kelimis. Begitu pula bulu-bulu yang terlihat.
Jika kita komitmen, apapun penampilan berpakaian (tidak hanya gamis) harus dihilangkan. Karena di balik busana yang dikenakan seseorang terdapat makna di balik busana yang dikenakannya.
Bahkan dalam konteks budaya, manusia sekarang sudah tidak konsisten dalam menerapkan 'teologi' budayanya. Banyak orang Jawa yang tidak mengenakan pakaian Jawanya, banyak orang Sunda tidak mengenakan pakaian Sundanya, dan banyak orang yang mengaku orang Padang tidak lagi mengenakan pakaian Padangnya.
Di mana ideologi manusia tentang identitas pakaian? Tidak ada ukuran yang pasti kapan mereka mesti mengenakan pakaian adatnya. Yang jelas, kebanyakan dalam situasi acara resmi masing-masing akan memperlihatkan asesoris yang disandangnya.
Apakah Islam tidak demikian? Apakah ketika kita beribadah seperti melakukan shalat bukan saat yang lebih resmi di sisi Allah dibanding acara keduniaan lainnya?
(Dari Buku: Libasut Taqwa, Bukan Sekedar Penampilan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar