HIASI HIDUP DAN KEHIDUPAN KITA DENGAN AMAL ILMIAH DAN ILMU AMALIAH

Sabtu, 30 Oktober 2010

ceramah syeikh fathurrahman, Mag

Ceramah Syekh Fathurahman, MAg
Pengajian Ahad, 24 Oktober 2010

Lanjutan, bagian : 2
Selingan:
Islam itu merangkul semua kemampuan dan golongan, tidak pukul rata. Pengajian malam Ahad untuk kajian intensif Tahsinul Quran, Fiqih dan Nahwu Sharaf, sedangkan Ahad pagi untuk kajian umum untuk segala lapisan baik kaum bapak juga ibu-ibu. Maka wajarlah suasana pengajian pada malam dan hari Ahad itu berbeda. Pengajian hari Ahad diwarnai tangis dan tingkah laku anak yang tidak bisa diam.
Orang tua mesti mengajarkan anaknya menyaksikan orang beribadah. Sejak kecil dididik agar betah di masjid, jangan betah di Pe-eS (Play Station = main game) saja. Jika seorang anak sudah diperlihatkan orang-orang yang sedang mengaji, menangis di kala beristighfar, sholat, dll, maka hal itu merupakan pendidikan yang berharga bagi pembentukan jiwanya di masa yang akan datang.
Menurut Syekh Muhammad bin Ali As-Sanusi yang menukil dari ungkapan Imam Malik bin Anas, ‘Janganlah mengambil ilmu dari 4 kelompok, selain itu silahkan ambil, yaitu:
·         Dari orang bodoh (min safiihin). Apabila kita mendengarnya, janganlah kita yakini. Sebab akan menjadi racun. Bila perlu kita luruskan pandangannya itu, sebab orang yang bodoh itu tiada menyampaikan sesuatu melainkan kebodohannya. Jika kita tidak mampu maka kita sekedar menghormatinya saja. Orang bodoh mengatakan kebenaran seperti si buta menilai gajah. Gajah itu itu tipis kata si buta yang pertama, karena yang dipegang adalah ekornya. Kata si buta yang lain Gajah itu besar seperti pohon kelapa, karena yang dipegang adalah kakinya.
·         Dari orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya. Pada zaman sekarang banyak orang yang kelihatan pintar baca Al-Quran, baca do’anya juga bagus, tapi suka memperturutkan hawa nafsunya. Jiwanya penuh dengan penyakit-penyakit batiniyyah. Tidak heran, jika ada mahasiswa yang belajar ilmu umum maupun agama di perguruan tinggi, semakin banyak belajar semakin malas sholatnya. Walaupun yang mengajar adalah dosen atau kiyai yang menguasai bidang keilmuan Quran dan Hadits.  Maka karena jiwanya tidak ada yang membimbing maka hawa nafsunya yang diperturutkan. Akhirnya bukan nafsunya yang mengikuti tuntunan Quran dan Hadits, tapi Quran dan Hadits yang mesti mengikuti kemauan nafsunya. Na’udzubillaah.
·         Dari seorang kadz-dzab (pembohong), yakni orang yang banyak mengumbar kata-kata kebohongan di tengah manusia, meskipun ia banyak mengutarakan hadits Rasulullah Saw.
·         Dari seorang yang pintar (syekh), tapi tidak jelas mandatnya, alias tidak jelas silsilah keguruannya meskipun ia seorang Ulama besar yang dkenal kebajikan dan ibadahnya. Ini sebatas ilmu saja bukan untuk ditampakkan kepada orang lain sehingga menimbulkan su-uzh zhan (buruk sangka). Ulama yang tidak jelas sumber mandatnya akan menyebabkan ilmunya campur aduk, sehingga tidak jelas kebijakan Islamiyyahnya. Maka, jangan mengambil ilmu dari golongan ini. Namun demikian dalam konsep dakwah Al-Idrisiyyah kita mesti mendengar dari kalangan manapun. Bisa jadi akan menambah perbendaharaan wawasan bagi kita. Di mana pun berada, setiap murid mesti berbaur dan aktif menghadiri majelis ilmu yang ada di lingkungannya. Insya Allah, akan dibukakan Furqan (pembeda) bagi kita sehingga ditampakkan mana yang baik dan buruk, mana yag lurus dan bengok, mana yang baik dan yang lebih baik. Demikianlah kebijakan dakwah Al-Idrisiyyah ke depan, dalam rangka membangun Silaturrahim dan Ukhuwah Islamiyyah. Maka ilmu yang didapat perlu kita ambil, namun tidak menjadi dasar keilmuan berdasarkan pedoman nasehat tadi. [Perkataan Imam Malik dalam Muqaddimah Al-Muwatha’[1]]

Inti perubahan kebijakan Al-idrisiyyah dari kepemimpinan yang satu kepada kepemimpinan berikutnya adalah peningkatan. Baik ilmu maupun amaliyyah yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Untuk meyakinkan bahwa apa yang disampaikan oleh Guru merupakan petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya, maka kita perlu menengok substansi ajaran Guru-guru kita terdahulu sebagai perbandingan.
Perbandingan itu sangat penting. Allah sering mengungkapkan tamsil (perumpamaan, perbandingan), sehingga dalam kajian Ulumul Quran ada pembahasan khusus mengenai Amtsalul Quran (Tamsil-tamsil dalam Al-Quran). Maka dengan mengaji bisa mendapatkan perbandingan pengetahuan yang lebih baik.
Dalam Al-Quran disebutkan:
ذَلِكَ بِأَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا اتَّبَعُوا الْبَاطِلَ وَأَنَّ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّبَعُوا الْحَقَّ مِنْ رَبِّهِمْ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ لِلنَّاسِ أَمْثَالَهُمْ
“Yang demikian adalah karena sesungguhnya orang-orang kafir mengikuti yang bathil dan sesungguhnya orang-orang mu'min mengikuti yang haq dari Tuhan mereka. Demikianlah Allah membuat untuk manusia perbandingan-perbandingan bagi mereka.”  (Q.S. Muhammad: 3)
Dalam sabda-sabda Rasulullah juga banyak mengungkap perbandingan-perbandingan kepada banyak permasalahan, di antaranya:
“Perumpamaan orang yang berdzikir (mengingat) Tuhannya dengan orang yang tidak seperti orang yang hidup dan orang yang mati (bangkai).[2]
Orang yang berdzikir hatinya dihidupkan dan digerakkan badannya untuk aktivitas yang sesuai dengan aturan Allah. Tapi orang yang tidak berdzikir kepada Allah diibaratkan seperti bangkai, yang tidak berbau dan tidak bergerak.

Sejarah peralihan kepemimpinan umat
Supaya wawasan kita sedikit luas perlu kita perlu menengok sejarah Guru-guru kita terdahulu.
Tarekat (thariqah) Idrisiyyah adalah Thariqah pembaharuan. Awal kemunculannya tidak dinamakan sebagai Thariqah. Walaupun kita tidak menampilkan Thariqah, maka orang-orang pada umumnya mengungkapkan bahwa kita adalah orang-orang Sufi. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Direktur majalah Sabili saat bertemu dengan kita
Setelah Rasulullah Saw meninggal dunia, kepemimpinan dilanjutkan oleh para Khalifah yang diangkat berdasarkan musyawarah. Para sahabat Muhajirin dan Anshar berkumpul di Bani Tsaqafah membahas siapa penerus Beliau Saw. Meskipun jenazah Beliau kala itu belum dimakamkan. Inilah yang menjadikan alas an mengapa keluarga Rasulullah menjadi marah.
Pada saat itu pula Sayidina Umar pun belum percaya bahwa Rasulullah Saw telah wafat. Bahkan ia menghunus pedangnya dan berkata, ‘Barang siapa yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad telah mati maka akan aku penggal lehernya!’ Begitu cintanya Umar bin Khathab kepada Rasulullah  Saw, seolah-olah kekasihnya tidak boleh mati.
Begitulah saat Guru-guru Thariqah Al-Idrisiyyah ini dikabarkan telah meninggal, murid-murid banyak yang tidak percaya mendengarnya. Ada pula yang marah, seolah-olah ia tidak ingin berpisah dengan Gurunya.
Akhirnya ia dapat ditenangkan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, ‘Wahai Umar, barang siapa yang beribadah kepada Muhammad ketahuilah bahwa Nabi Muhammad telah meninggal. Dan barang siapa yang beribadah kepada Allah maka sesungguhnya Allah itu Hidup dan tidak akan pernah mati’. Inilah ungkapan yang selaras dengan firman Allah: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu akan berbalik ke belakang?”(Q.S. Ali Imran:  144)
Ketika Umar Ra. salah dan dinasehati, inilah pembelajaran bagi kita. Orang yang sedang keliru dan menyimpang jangan malah dimaki-maki. Sudah salah ditambah makian, jadi bertambah salah. Ketika ada yang salah dinasehati dengan niat yang lurus dan ikhlas, semata-mata memberikan nasehat. Sebagaimana yang dilakukan Sayidina Abu Bakar ash-Shiddiq kepada Sayidina Umar ketika salah. Kesalahannya itu diakibatkan kecintaannya kepada Rasulullah Saw. Maka sadarlah ia dan surutlah emosinya, walau sumbernya berasal dari kecintaan.
Bermusyawarahnya para sahabat tiada lain untuk menentukan pengganti Rasul agar umat tidak berpecah belah sepeninggal Beliau Saw. Jadi, niat para sahabat kala itu baik karena dilandasi rasa kekhawatiran agar umat tidak berpecah belah karena pengganti Beliau Saw tidak diberitahukan  (dipublikasikan) sebelumnya.
Ada yang menyatakan bahwa pada saat kaum Muhajirin dan Anshar bermusyawarah menunjuk pengganti pemimpin umat, tidak melibatkan keluarga Rasulullah (Ahlul Bait). Di satu sisi kelompok orang yang mencintai Sayidina Ali meyakini bahwa Sayidina Ali telah diangkat oleh Rasulullah Saw secara rahasia sebagai pengganti Beliau Saw.
Ujian kepemimpinan Islam adalah luar biasa berat dibuktikan dengan sejarah. Allah akan melihat mana kelompok yang memegang teguh kebenaran dan mana yang mengedepankan ambisi pribadi atau kelompoknya. Mana yang mengedepankan Ridha Allah dan mana yang tidak.
Setelah mengajukan calon masing-masing dari golongan Muhajirin dan Anshar, maka dipihlah Syidina Abu Bakar ash-Shiddiq mennjadi pengganti (Khalifah) Rasulullah Saw. Yang tidak ikut bermusyawarah adalah Sayidina Ali dan keluarga Nabi.
Inilah sebab munculnya golongan Syi’ah dalam Islam. Menurut kaum Syi’ah seharusnya Sayidina Ali yang menjadi Khalifah yang pertama. Bahkan ada kelompok ekstrem dari syi’ah yang menyatakan bahwa kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Utsman tidak sah, ada yang menyatakan mereka akan masuk neraka karena merebut hak kepemimpinan Sayidina Ali.
Dulu saja permasalahan kepemimpinan seperti itu apalagi sekarang.
Selingan.
Saat wafatnya Mursyid Thariqah kita ada beberapa murid yang tidak lagi iman kepada penggantinya. Akhirnya sedikit demi sedikit bergeserlah ajaran yang disampaikan dan diwasiatkan oleh Guru sebelumya. Walaupun ia sudah menjadi Ulama besar, tapi dzikirnya tidak ada, libasut taqwanya tidak ada, tutup auratnya tidak ada, itulah bukti (fakta) akibat ketidakpercayaannya kepada Khalifah (pengganti peran Rasulullah Saw).
Oleh karenanya kita mesti memahami dan tahu persis sejarah, ajaran kepemimpinan saat ini dank e depan. Terbukti bagi orang-orang yang keluar dari kebijakan pengganti Mursyidnya, keimanan dan keislamannya luntur. Karena menempelnya pada saat masih ada Mursyidnya terdahulu. Bagi murid-murid Idrisiyyah yang masih mengalami kepemimpinan Mursyid terdahulu misalnya sezaman dengan Syekh Akbar Abdul Fattah mungkin menyaksikan sendiri fakta lunturnya keimanan dan keislaman murid yang dijelaskan tadi.
Dahulu ada murid yang sudah menjadi Ulama besar mengharapkan menjadi penerus Syekh Akbar Abdul Fattah dan selalu menjadi wakil Beliau di berbagai acara-acara besar, namun setelah penggantinya adalah bukan dirinya seketika keimanan dan keislamannya luntur. Ia yang sering disebut Ajengan atau Kiyai saat mewakili Syekh Akbar di berbagai acara, akhirnya menjadi orang biasa di tengah masyarkat. Sebutan kehormatan sebagai seorang pembimbing agama tidak disandangnya lagi.
Hal ini menunjukkan bahwa keimanan dan keislaman seorang murid merupakan tetesan keberkahan Gurunya dan Rasulullah Saw, karena ia menggantungkan kepercayaannya kepada Guru dan Rasul serta mengambil kebijakannya.
Akhirnya para Sahabat menyatakan bai’at kepada Sayidina Abu Bakar kecuali Sayidina Ali dan keluarga Nabi Saw. Meskipun diangkat dengan cara musyawarah, Sayidina Abu Bakar dengan kekuatan bimbingan dari Rasulullah mampu mengendalikan situasi dan kondisi umat saat itu. Orang yang murtad diperanginya. Orang-orang yang tidak membayar zakat diperangi pula. Orang yang enggan membayar zakat pada umumnya baru masuk Islam menjelang wafatnya Rasulullah Saw. Mereka masuk islam karena tunduk, bukan karena iman. Oleh karenanya dua istilah (muslim dan mukmin) itu berbeda maknanya.
Bersambung


[1] Muqaddimah Al-Muwatha’
[2] HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Musa al Asy’ari Ra.

Kamis, 28 Oktober 2010

Benang Merah Kepemimpinan Al-Idrisiyyah & Sanusiyyah

Ceramah: Syeikh Fathurrahman,M.Ag
Pengajian: Hari Ahad, 24 OKtober 2010 Batu Tulis - Jakarta Pusat 
بِِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ.
اَلْحَمْدُ للهِ وَحْدَهُ, وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلىٰ مَنْ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ, وَعَلىٰ ألِهِ وَصَحْبِه وَمَنْ وَالَاهُ, أَمَّا بَعْدُ: فَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِيْ مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِيْ مُخْرَجَ صِدْقٍ وَّاجْعَلْ لِيْ مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَّصِيْرًا. وَقُلْ جَآءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا. قال الله تعالى في كتابه الكريم: اُدْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Alhamdulillah pengajian malam dan hari Ahad di Jakarta telah berjalan.
Untuk pergerakan Al-Idrisiyyah ke depan akan dipersiapkan pedoman dakwahnya, sebagai panduan yang jelas. Untuk sementara ini berjalan secara bertahap.
Ini merupakan adaptasi dari kebijakan Guru-guru kita sebelumnya. Kita punya tugas yang berat secara internal dan eksternal. Keduanya mesti serasi berjalan. Ke dalam mesti ada peningkatan ilmu dan amaliyyah. Apa yang disampaikan walaupun dalam kerangka ceramah, bukan dalam bentuk tulisan yang berkerangka sistematis.
Apa yang disampaikan Guru-guru terdahulu substansinya telah disampaikan.
Ada buku Al-Harakatus Sanusiyyah, sebuah disertasi seorang cendekiawan muslim bernama Dr. Shalabi yang mencermati sepak terjang pergerakan Sanusiyyah pada masa dahulu.
4 aspek yang beli ia cermati dari pergerakan Sanusiyyah adalah:
1.       Fikrah Dakwah (pemikiran dakwah)nya,
2.       Fikrah Tarbawiyyah (pendidikan) dalam membina umat,
3.       Fkrah Iqtishadiyyah (ekonomi umat),
4.       Fikrah As-Siyasah al-Islamiyyah (Pergerakan politik Islam).
 Pada pengajian kali ini akan disinggung sedikit demi sedikit program dan sepak terjang kepemimpinan Guru-guru kita terdahulu, agar terlihat jelas benang merah kepemimpinan Ilahiyyah yang dahulu dengan program kebijakan saat ini.
Ada beberapa kebijakan baru pada era kepemimpian Al-Idrisiyyah saat ini yang dilihat seperti berbeda dengan kebijakan pimpinan sebelumnya. Sehingga timbul banyak penilaian (baik terlontar dari ucapannya maupun tidak) dari berbagai pihak khususnya murid-murid yang telah lama mengiringi perjalanan Tarekat Idrisiyyah sebelumya,
Sebagai contoh: ada anggapan bahwa Syekh yang sekarang ini tidak berani berdzikir berdiri di tempat umum saat ini. Bukan masalah berani atau bukan, tapi kaitannya dengan program ke depan yang Allah arahkan (bimbing) kepada kita.
Memang setiap kepemimpinan baru itu mempunyai kebijakan yang baru pula. Pada masa peralihannya akan mengalami masa pra kondisi kepada program yang diusung. Termasuk pola kepemimpinan Al-Idrisiyyah sekarang ini. Kalau untuk menjelaskannya apa dan mengapa, penjelasannya akan memakan banyak waktu. Bisa berhari-hari untuk menjelaskannya. Cukuplah bagi seorang murid untuk berprinsip dan berkeyakinan bahwa Guru itu dibimbing (mendapatkan petunjuk) dari Allah.
Karena memerlukan waktu yang tidak singkat untuk membahas kaitan perjuangan Guru-guru terdahulu hingga saat ini maka kewajiban murid sekarang ini adalah setiap minggu bermuwajahah dengan Gurunya (hadir mengaji). Saking banyaknya ilmu dan wawasan yang ingin yang disampaikan.
Kunci resep sebagai murid adalah berkeyakinan bahwa bimbingan yang lurus senantiasa terlimpah atas Gurunya. Kalau secara pribadi seorang Guru merasa kurang (terbatas) ilmunya apalagi seorang murid. Lalu bagaimana seorang murid bisa mengukur kedalaman ilmu Gurunya, bagaimana bisa seorang Guru Mursyid mengukur ilmunya Rasulullah, atau bagaimana bisa Rasulullah mengukur Ilmu-Nya Allah?
Seorang murid cukup berpedoman Aamanna, yakni percaya berdasarkan ilmu, dan Aslamnaa (tunduk).
Kadang-kadang pemikiran dan pengalaman seorang murid belum sampai kepada maksud dan hakikat program yang diperintahkan Gurunya. Sehingga ketika seorang murid telah bergabung dengan Syekhnya selama 3 tahun menjelang wafatnya, ia mengalami keraguan ketika ada kebijakan yang dianggapnya berbeda (berubah) dari kebijakan Syekh sebelumnya.
Sebuah hadits mengungkapkan:
أُدَعْ مَا يُرٍيْبَك إِلىَ مَا يُرِيْبُكَ  {رواه النسائي, وقال الترمذي حديث حسن صحيح }
“Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada yang tidk meragukanmu!”
Kalau ingin melakukan sesuatu ragu-ragu maka apapun tidak akan terwujud, alias tidak jadi. Mau usaha apapun tidak bakal jadi kalau ada keraguan.  
Iblis dan syetan mudah menggoda dan memperdaya manusia dalam 2 hal (kondisi). (Pertama) saat manusia dalam kondisi ragu, di saat itulah styetan menghinggapinya. Orang yang ragu itu tidak seratus persen imannya. Jika seseorang imannya 70%, maka keraguannya 30%. Pada saat iblis dan syetan masuk, maka keraguannya itu bisa bertambah dan keimanannya digerogoti menjadi berkurang persentasenya. Lama kelamaan orang yang ragu ini bisa menjadi orang yang ingkar.
Orang munafik itu bukannya tidak beriman. Mereka beriman, tapi mereka memiliki keraguan dalam hatinya. Keraguannya itu memakan keimanan (kepercayaan)nya kepada Allah dan Rasul-Nya
Allah menjelaskan keadaan mereka dalam Al-Quran:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَن تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
Sesungguhnya orang-orang munafik itu  pada tingkatan yang paling bawah di neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka. (Q.S. An-Nisa: 145)
Kalau ragu-ragu datang ngaji-nya belakangan, pulangnya duluan. Maka ilmunya bagaimana bisa banyak. Lain halnya dengan yang mantap keimanannya. Mau mengaji pada hari Ahad, sebelumnya sudah dipersiapkan, lalu berangkat segera dari rumah dan sampai di majelis pada awal waktu, pulangnya belakangan. Kalau yang demikian tentu ilmu dan amal yang ia dapatkan berbeda dari golongan yang pertama.
Iblis mudah memperdaya orang yang ragu seperti anak kecil mempermainkan bonekanya. Mau di kemanakan boneka itu oleh si anak ia bisa melakukannya. Mau ditaruh, dilempar ke mana saja ia bisa melakukannya dengan suka cita. Bonekanya ibarat orang yang ragu, sedangkan anak kecil itu bagaikan syetan yang memperdayanya. Maka orang yang ragu bisa dipermainkan syetan dengan mudahnya.
(Kedua) Dalam kondisi marah. Iblis atau syetan mudah menaklukkan manusia di kala marah.
Ketika marah, seseorang tidak mampu menguasainya. Begitu saat kita ragu. Seseorang tidak mampu menguasai dirinya sendiri. Masuklah syetan dan iblis dalam jiwanya, karena pada kondisi tersebut diri kita tidak dalam penguasaan kita seratus persen. Bahkan adakalanya seseorang di kala marah dirinya tidak terkendali seratus persen. Yang menguasai dirinya adalah iblis / syetan seratus persen. Oleh karenanya pada saat kita ragu, buanglah keraguan itu, datangkanlah keyakinan penuh.
Maka kunci bagi umat dan murid cukup simple (sederhana), yaitu: أمنا Aamannaa (kami beriman tanpa ada keraguan), أسلمنا Aslamnaa (kami tunduk). Ilmu dan pemahamannya belakangan, menyusul kemudian. Setelah ia berpegang atas pedoman tersebut, nanti akan berjalanlah pemahaman itu menghampirinya. Baik lambat atau cepat.
ditulis oleh: Ust. Luqmana, S.Ag

Selasa, 26 Oktober 2010

aurod al-idrisiyyah

الأوراد الواجبات

AWRAD WAJIB


أَوْرَادُ الْوَاجِبَاتِ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ عِنْدَ الطَّرِيْقَةِ اْلإِدْرِيْسِيَّةِ فِيْ تَرْبِيَّةِ الشَّيْخِ مُحَمَّدْ فَتْحِ الرَّحْمَنْ قَدَّسَ اللهُ سِرَّهُ:
۱- قِرَآءَةُ الْقُرْآن ۱ جُزْء
۲- يَقْرَأُ اْلإِسْتِغْفَارَ (أَسْتَغْفِرُ اللهَ){..۱×}
۳- يَقْرَأُ الذِّكْرَ الْمَخْصُوْصِ: (لآَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَّسُوْلُ اللهِ قِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَّنَفَسٍ عَدَدَ مَا وَسِعَه عِلْمُ اللهِ) {..۳×}
٤- يَقْرَأُ الصَّلاَةَ اْلأُمِّيِّ, وَهِيَ: (اَللّهُمَّ صَلِّ عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ وَعَلى ألِه وَصَحْبِه وَسَلِّمْ). {..۱×}
۵- يَقْرَأُ اْلإِسْمِ اللهِ اْلأَعْظَمِ, وَهِيَ: (يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ) {...۱×}
٦- يَقْرَأُ الذِّكْرَ الْمُلْكِيَّةِ: (لآَ إِلٰهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ, لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ) {..۱×}
٧- تَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ لِلسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ بِعَمَلِ الطَّاعَاتِ الْوَاجِبَةِ وَالْمُسْتَحَبَّةِ وَتَرْكِ الْمُنْهِيَّاتِ الْمُحَرَّمَةِ وَالْمَكْرُوْهَةِ.
Awrad yang wajib dilaksanakan oleh setiap murid Idrisiyyah dalam sehari semalam di bawah bimbingan Syekh Muhammad Fathurahman (Semoga Allah mensucikan rahasianya), adalah:
1.      Membaca Al-Quran sebanyak 1 Juz
2.      Membaca Istighfar. Yaitu: Astaghfirullaah sebanyak 100 kali.
3.      Membaca Dzikir: Laa Ilaaha Illallaah Muhammadur Rosuulullaah fii kulli lamhatiw wanafasin ’adada maa wasi’ahuu ’ilmullaah, sebanyak 300 kali.
4.      Membaca Sholawat Ummiy, sebanyak 100 kali. Yaitu:
Allaahumma sholli ’alaa sayyidinaa Muhammadinin Nabiyyil Ummiyyi wa’alaa aalihii washohbihii wasallim.
5.      Membaca Nama Allah: Yaa Hayyu Yaa Qoyyum sebanyak 1.000 kali.
6.      Membaca dzikir Mulkiyyah sebanyak 100 kali. Yaitu: Laa Ilaaha Illallaah wahdahuu laa syariikalah lahul mulku walahul hamdu yuhyii wayumiitu wahuwa ’alaa kulli syai-in qodiir.
7.      Taqwa kepada Allah ’Azza wa Jalla. Yakni bersedia dibimbing oleh Syekh Mursyid (Sami’na wa Atho’na) dengan menjalankan amal ketaatan yang wajib dan sunnah, meninggalkan larangan Allah dan Rasul-Nya yang haram maupun makruh.

Selasa, 19 Oktober 2010

mengapa berdiri ketika berzikir..?


Dalam selingan ceramah Syekh al-Akbar ketika membahas masalah kaifiyat (tata cara) berdzikir kepada Allah pernah diungkapkan bahwa ada orang yang memfitnah jama'ah Al-Idrisiyyah berdzikir 'berdiri'! Padahal ungkapan itu tidak berbukti sama sekali. Karena jama'ah Al-Idrisiyyah berdzikir 'Allah! Allah! Allah!........' Bukan 'Berdiri! Berdiri! Berdiri!............' Sebab arti dzikir adalah menyebut. Jika dikatakan berdzikir berdiri berarti menyebut 'berdiri!' Mendengar hal ini jama'ah tersenyum mendengarnya.
Yang dimaksud adalah jama'ah Al-Idrisiyyah berdzikir 'Allah! Allah! Allah!' sambil berdiri! Itulah ungkapan yang tepat. Berdzikir demikian didasari Firman Allah: Alladziina yadzkuruunallaaha qiyaamaw waqu'uudaw wa'alaa junuubihim...... 'Mereka yang berdzikir kepada Allah sambil berdiri atau duduk atau berbaring atas lambungnya...'
Yang tidak disadari banyak orang adalah ketika seseorang atau sekelompok orang berdzikir, saat itu mereka sedang menyebut-nyebut-Nya. Saat mereka menyebut-nyebut-Nya, maka saat itu pula ada respon yang sangat cepat dari Allah SWT. Firman Allah 'Fadzkuruunii adzkurkum (Maka sebutlah Aku niscaya Aku akan menyebut kalian)'. Maka hadirlah Allah 'Azza wa Jalla ketika seorang hamba memanggil-Nya. Allah tidak buta atau tuli, tetapi kita buta dan tuli dengan Kehadiran-Nya.
Secara fitrah kita akan menghormati seorang pembesar ketika datang kepada kita. Kita berdiri menghormati kehadirannya. Begitulah yang kita saksikan selama ini. Kemunculan Presiden, Bos, majikan di hadapan kita memancing reaksi normal bawahannya untuk berdiri menghormati kehadirannya.
Kebiasaan pada Mahallul Qiyam (berdiri) saat akhir pembacaan Maulid adalah kesadaran eksistensi yang diajarkan oleh Ulama Muhaqqiqin agar menghormati kehadiran Rasulullah Saw ketika namanya disebut-sebut, dan shalawat dilantunkan terus menerus kepadanya. Pemahaman ini diterima banyak orang, hal ini dibuktikan dengan masih banyak orang melakukannya saat bulan-bulan Maulid atau acara-acara tertentu.
Sekarang, bisakah kita menerima pemahaman bahwa Allah SWT lebih layak untuk dihormati dan diagungkan kehadiran-Nya oleh kita sebagai makhluk-Nya? Tentu saja. Karena berdiri menyambut kehadiran-Nya ketika menyebut atau memanggil nama-Nya adalah suatu yang fitrah dan suatu hal yang patut.
Ada sebuah kisah klasik yang patut menjadi renungan kita bersama,
Suatu saat Jibril As pemimpin seluruh bangsa malaikat datang kepada Nabi Saw dan berkata, 'Ya Rasulullah, aku lihat peristiwa yang menakjubkan. 'Apakah itu wahai Jibril?' sabda Nabi Saw. Jawab Jibril As, 'Tatkala aku sampai di Jabal Qaf aku mendengar sebuah suara rintihan dan tangisan. Maka aku pergi mencarinya. Dan aku melihat satu malaikat yang pernah aku lihat dahulu berdiam di atas Kursy. Di sekitarnya terdapat 70 ribu berbaris malaikat berkhidmah kepadanya. Setiap malaikat ini bernafas, maka hembusan nafasnya dijadikan Allah malaikat lagi. Sekarang aku lihat malaikat itu menangis dan menderita di Jabal Qaf karena patah sayapnya. Ketika ia melihatku ia bermohon, 'Syafa'atilah (tolonglah) aku ini!' Kata Jibril, 'Apa dosa engkau (sehingga menjadi seperti ini)?' Maka jawabnya, 'Adalah aku berada di atas Sarir pada malam Mi'raj (27 Rajab). Kemudian lewatlah di hadapanku Nabi Muhammad Saw. Tapi aku tidak berdiri (menghormati) baginya. Maka Allah menyiksa ku dengan siksa seperti ini dan ditempatkan di tempat yang engkau saksikan ini. Berkata Jibril, 'Aku pun bertadharru' (merendahkan diri) untuk memohonkan ampun untuknya kepada Allah Ta'ala'. Firman Allah Ta'ala, 'Sampaikan padanya agar bershalawat atas kekasih-Ku Muhammad Saw!' Maka bershalawatlah ia atas engkau (Muhammad). Dan Allah Ta'ala mengampuninya, disembuhkan bahkan ditambahkan sayapnya'. [Jam'ul Jawami', Sy Daud bin Abdullah al-Fathani].
Begitu selesai membaca ini, saya pun merenung. Bagaimana sosok malaikat yang bersifat ruhaniyyah dan telah diberikan kedudukan yang demikian tinggi bisa merasakan penderitaan fisik akibat satu kesalahan saja. Saya mengira, sosok malaikat itu sudah dekat, dijamin masuk syurga dan tak ada lagi siksa. Tapi hukuman akibat kesalahan adab tetap berlaku secara fisik.
Kesalahan fatal manusia di muka bumi banyak diceritakan karena masalah kekeliruan adab kepada Utusan-Nya, bukan karena kurang atau tidak imannya kepada Allah. Bisa kita buka cerita bagaimana Iblis enggan sujud kepada Adam As. Perintah Allah SWT kepada Iblis untuk sujud sebenarnya mengajarkannya sebuah adab, tapi ia memilih tidak mau beradab. Umat Yahudi dan Nasrani dilaknat Allah karena ketidaksukaannya kepada Nabi Muhammad, tapi bukan karena kurang imannya kepada Allah. Inilah masalah Adab.
Ilmu tentang Adab (etika) setiap orang tidaklah sama. Nabi Saw diberikan pengetahuan Adab yang begitu tinggi, karena Allah sendiri yang mengajarkan Beliau bagaimana caranya beradab [Addabanii Robbii fa Ahsana Ta'diibii]. Demikian pula para Masyayikh pewaris dan Khalifah Rasulullah Saw. Mereka diajarkan adab yang demikian tinggi.
Syekh al-Akbar mengajarkan murid-muridnya dan umat ini untuk berdiri ketika berdzikir, adalah sebab pengajaran adab (tata krama) berdzikir yang Allah curahkan kepada jiwa Beliau. Pengajaran tentang ini adalah limpahan karunia yang luar biasa tentang perihal adab manusia dalam berinteraksi kepada Khaliq-Nya. Dan 'Tidak ada agama bagi orang yang tidak memiliki adab!' demikian hadits menyebutkan.

kepada isteriku


Kepada Istriku
Petang ini aku tidak bisa segera pulang. Banyak tugas-tugas yang belum tuntas harus digegas. Petang menjelang, sms-mu datang, menanyakan kapan pulang
Hmm ...mungkin aku baru bisa pulang malam. Mungkin nanti anak-anak sudah tidur, si kecil yang lucu hari ini tidak bergantung dikakiku ketika pulang. Karena ia telah lelap dalam tidurnya.

Istriku ... Aku tahu, betapa berat tugas dan tanggung jawabmu di rumah. Pekerjaanmu; padat dan berat. Memasak; Mencuci; Menyapu; Mengurus urusan rumahtangga. Letih dan lelah demi semua.
Menyusui dan mendidik anak-anak. Menjaga amanah dan kesetiaan ketika suami tidak ada. Tidak diperintahkan sholat jum'at. Tidak pula diwajibkan sholat jama'ah ke mesjid. Tidak wajib atasnya jihad dengan senjata.

Namun begitu istriku, bergembiralah karena engkau tetap mendapatkan pahala seperti kaum pria.
Kok bisa?

Dengarkan jawabannya dari seorang utusan wanita "Asma' binti Yazid Al-Anshoriyyah yang mendatangi Nabi shollallahu 'alaihi wa sallama, ketika beliau sedang duduk bersama sahabat-sahabat.
Asma binti Yazid Al-Ashoriyyah, "Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, sesungguhnya aku adalah utusan para wanita kepadamu, dan aku tahu; jiwaku sebagai tebusanmu - bahwasanya tidak seorangpun dari wanita baik di timur ataupun di barat yang mendengar kepergianku untuk menemui ini ataupun tidak mendengarnya melainkan ia sependapat denganku.
 
Sesungguhnya Allah mengutusmu dengan kebenaran kepada laki-laki dan wanita. Maka kami beriman kepadamu dan kepada Ilah-mu yang telah mengutus. Dan sesungguhnya kami para wanita terbatas (geraknya); menjadi penjaga rumah-rumah kalian, tempat kalian menunaikan syahwat kalian dan yang mengandung anak-anak kalian.
 
Sementara kalian para laki-laki dilebihkan atas kami dengan sholat jum'at, jama'ah, menjenguk orang sakit, menghadiri jenazah, menunaikan haji berkali-kali, dan yang lebih baik dari itu berjihad di jalan Allah. Dan sesungguhnya salah seorang dari kalian apabila ia keluar haji atau umroh atau berjihad, kami yang menjaga harta kalian, menenunkan pakaian kalian, dan kami pula yang mendidik anak-anak kalian. Maka apakah kami mendapatkan pahala seperti kalian hai Rasulullah?
 
Maka Nabi shollallahu 'alaihi wa sallama menoleh kepada para sahabatnya, kemudian beliau berkata, "Apakah kalian pernah mendengar perkataan wanita yang lebih baik dari pertanyaannya dalam urusan agamanya ini? Mereka menjawab, "Hai Rasulullah, kami tidak mengira bahwa seorang wanita bisa paham seperti ini. Nabi shollallahu 'alaihi wa sallama menoleh kepadanya kemudian berkata kepadanya, "Pulanglah wahai wanita dan beritahukanlah kepada orang-orang wanita-wanita dibelakangmu bahwasanya baiknya pengabdian salah seorang dari kalian kepada suaminya dan mengharapkan ridhonya, serta mengikuti keinginannya menandingi itu semua". Maka wanita itu pulang seraya bertahlil, bertakbir dengan gembira".
 (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dalam Syu'abil Iman). 

Istriku ...
Jika seorang wanita memahami ibadah dengan sempit, hanya sebatas ruku' dan sujud saja, ia akan kehilangan pahala yang besar, karena ia akan menganggap pekerjaan di rumah, berkhidmat kepada suami, bergaul dengannya dengan baik, mendidik anak-anak semua itu tidak termasuk ibadah. Ini jelas salah dalam memahami ibadah. Ibadah sebagaimana dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah suatu penamaan untuk setiap sesuatu yang dicintai dan diridhoi Allah dari perkataan dan perbuatan yang batin maupun zhohir.
 
Sholat, zakat, puasa, haji, berkata jujur, menunaikan amanah, berbakti kepada orangtua, shilaturrahim, menepati janji, menegakkan amar ma'ruf nahi munkar, jihad melawan orang kafir dan munafiqin, berbuat baik  kepada tetangga anak yatim orang miskin ibnus sabil dan hewan, berdo'a, berzikir, membaca quran dan semisalnya termasuk ibadah. Begitu juga mencintai Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, bertaubat kepada-Nya dan mengikhlaskan agama hanya untuk-Nya semata, bersabar terhadap keputusan-Nya, mensyukuri nikmat-Nya dan ridho terhadap qodho-Nya, tawakkal kepada-Nya, mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya semua itu termasuk ibadah kepada Allah.
 
Jadi ibadatullah adalah tujuan yang dicintai dan diridhoi-Nya yang karenanya, Ia menciptakan makhluk sebagaimana firman-Nya, "Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka mengibadati-Ku". Engkau istriku .. senantiasa dalam ibadah ketika berkhidmat kepada suamimu dan anak-anakmu selama engkau mengharapkan ridhonya dan berbuat baik dalam bergaul dengannya.
 
Selamat untukmu istriku!! 
Engkau berhak mendapatkan pahala di dalam rumahmu jika : Ikhlas dan mengharapkan pahala dari Allah. Memperbaiki niat. Terakhir .. semoga Allah senantiasa menjagamu dan menjaga rumah tangga kita dalam naungan ridho dan cinta-Nya, amin.

mengulang-ulang ilmu dan nasehat


Kita adalah makhluk pelupa. Karena itu, hujaman nasehat itu mesti berulang-ulang dilakukan. Inilah yang ditampakkan kepada kita semua tentang uraian nasehat Guru kita, Syekh al-Akbar. Pengulangan adalah teknik memantapkan ilmu di dalam dada. Ulama Huffazh masa lalu senantiasa mengulang-ulang ilmunya setiap hari hingga sebanyak 25 kali. Kalau demikian kelakuan para Hafizh (penghafal Al-Quran dan Al-Hadits), maka bagaimana dengan kita yang terkadang merasa jemu terhadap kajian ilmu Syekh al-Akbar yang selalu diulang-ulang?
Pengulangan ilmu dan nasehat tiada lain adalah untuk meneguhkan dan menjaganya dari kealpaan. Dengan hujaman berkali-kali, pengetahuan itu akan bersenyawa dengan bagian tubuh kita yang sangat halus, sehingga melalui proses kimiawi, ia akan menjadi bagian tubuh kita yang tidak bisa dipisahkan. Jangankan kita, Rasulullah Saw saja sebagai pribadi yang utama, tidak dijamin hafalannya jika tidak Allah SWT yang menghendakinya,
Kami akan membacakan (al-Quran) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa, kecuali jika Allah menghendaki” (QS. Al-A’la: 6-7).